ABADILAH GURU YANG MENULIS

Jumat, 17 Februari 2017

Yang fana adalah waktu,
Kita abadi,
Memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga, sampai pada suatu hari.
kita lupa, untuk apa..
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" Tanyamu
KIta abadi
(Sapardi Djoko Damono)


Karyaku akan abadi walaupun aku telah tiada

Helvy Tiana Rosa mengatakan bahwa nama kita tidak akan mati bahkan bila kita mati. Apa maksud kalimat itu? Bagaimana mungkin kita abadi, sedangkan kita adalah makhluk yang fana? Kita tentu tahu JRR Tolkien? Yup, beliau adalah pencipta novel Lord of The Rings. Novelnya kemudian difilmkan oleh Peter Jackson. Sudah sejak tahun 1971 beliau meninggal, tetapi begitu novelnya muncul sebagai film, orang pasti akan mengingatnya kembali dan mengenangnya kembali. Ada lagi Theodor Geisel atau Dr. Seuss, penulis dan kartunis dari Amerika yang meninggal pada tahun 1991 juga Charles M schulz kartunis terkenal pencipta snoopy yang meninggal tahun 2000an. Mereka semua sudah meninggal tetapi karyanya tentu masih dibaca orang sampai sekarang.
Demikian juga para pujangga Indonesia seperti Marah Rusli dengan Siti Nurbayanya, Tulis Sutan Sati dengan Sengsara Membawa Nikmat, Sutan Takdir Alisyahbana dengan Layar Terkembang, Abdul Muis dengan Salah Asuhan, HAMKA dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah dan masih banyak lagi. Mereka semua sudah tiada tetapi karya-karyanya masih tetap dibaca dan dinikmati banyak orang. Jasad mereka boleh jadi sudah berkalang tanah, tetapi karya mereka, nama mereka tetap abadi, dikenang orang.
Jadi itulah maksud tulisan Helvy Tiana Rosa diatas, bahwa bila kelak kita sudah tiada, maka tulisan kita tetap hidup, tetap ada untuk dibaca. Seolah-olah hal itu menjadikan kita abadi, tetap ada tidak pernah mati. Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat saya, meninggal dunia, saya sering bolak balik melihat facebooknya juga blognya. Saya baca-baca statusnya, saya membaca lagi tulisannya di blog, saya tahu sahabatku ini sudah meninggal, tetapi karyanya, tulisannya masih akan selalu dibaca dan diingat orang. Sejak itulah saya selalu memaksa diri untuk menulis. Bagaimana mungkin cita-cita saya menjadi penulis terkenal bisa terwujudkan, bila saya  tak juga mulai menulis? Maka benarlah kata Imam Al Ghozali, jika kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis. Dengan menjadi penulis, maka kita bisa dikenal dan dikenang orang. Kita akan abadi.
Memang sulit memaksa diri untuk menulis setiap hari. Sebaiknya kita mempunyai jadwal tertentu untuk menulis, dan kita harus belajar mematuhinya. Menurut JK Rowling mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kita ketahui, atau tentang pengalaman dan perasaan kita sendiri. Jadilah itu yang saya lakukan, hanya menulis hal-hal yang saya tahu dan saya rasakan. Tidak perlu hal-hal yang sulit. Tentu mudah bagi guru bahasa Inggris seperti saya menulis tentang bagaimana mengajar bahasa Inggris. Saya tinggal mengingat-ingat apa saja yang saya lakukan ketika mengajar kemudian saya tuliskan. Mungkin saya bisa  juga browsing tentang bagaimana orang lain mengajar bahasa Inggris.  Kemudian menambahkannya ke dalam tulisan saya, sehingga tulisan saya akan lebih berwarna.  Beda ceritanya kalau saya disuruh menulis tentang bagaimana cara terbang ke Planet Venus. Tentu akan sulit bagi saya, karena selain memang belum pernah pergi sendiri ke Planet Venus, mencari referensi atau sumber beritanya pun akan sangat sulit. Jadi memang lebih mudah menuliskan hal-hal yang kita ketahui dan kita kuasai saja.
Tere Liye dalam suatu seminar menulis mengatakan,  Alah bisa karena biasa. Demikian juga dengan menulis, kalau kita terbiasa menulis, akan mudah bagi kita untuk menuangkan ide dan gagasan kita ke dalam tulisan. Pernahkah kita melihat seorang ibu memasak membawa penggaris untuk mengukur tempe atau sayuran agar irisan panjangnya sama? Tentu tidak pernah bukan? Tetapi bagaimana tempe dan sayuran yang dipotong bisa kelihatan sama panjangnya, padahal tidak menggunakan penggaris atau alat ukur lainnya? Itulah dahsyatnya suatu kebiasaan. Karena kita terbiasa memotong sayuran, maka lama-lama potongan kita akan sempurna dan tampak sama panjangnya. Karena kita terbiasa memasak, maka lama-lama masakan kita akan menjadi lezat. Begitu pula jika kita menulis, semakin sering menulis, semakin rajin menuangkan gagasan kita, maka lama-lama tulisan kita akan mengalir dan menjadi enak dibaca. Apabila banyak orang yang menyukai tulisan kita, tentu pada akhirnya tulisan kita akan menjadi best seller dan kita bisa menjadi penulis yang mumpuni dan terkenal.

Sesuai dengan permendikbud Nomor 23 tahun 2015 dan sebagai lanjutan dari Gerakan Literasi Nasional, maka sesungguhnya guru tidaklah bisa dipisahkan dari menulis. Karena kehidupan seorang guru memang tidak akan pernah lepas dari kata menulis. Guru harus menyiapkan bahan ajarnya, menyiapkan skenario rencana pengajarannya, membuat penelitian tindakan kelas, menulis untuk pengembangan profesinya, untuk menambah angka kreditnya, dan masih banyak lagi. Sebagai seorang guru, tentu diharapkan tulisan kita adalah tulisan yang bermanfaat. Yang  bisa membawa perubahan, membawa kebaikan bagi sesama. Diharapkan tulisan kita bisa berguna  bagi orang lain, memberitahu tanpa bermaksud menggurui, menyampaikan kebenaran tanpa disadari bagi yang membacanya. Bukankah itu membuat kita bercahaya di ahirat kelak? Karena itu akan menjadi ladang amal jariyah kita?
Pramodeya Ananta Toer mengatakan juga bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Maka ayolah menulis mulai sekarang, tunggu apalagi? Biarpun kita sudah tiada, maka karya kita akan tetap abadi. Yuk, menjadi guru yang abadi!






Read More

IBUKU TELOLETKU

Kamis, 22 Desember 2016




 CERPEN


Aku bergegas menyelesaikan doaku, mengucapkan amin sambil mengusap mukaku. Kutarik sarungku ke atas dan menyilangkannya di dada agar tidak mengganggu lariku. Seperti biasa aku harus cepat-cepat pulang, karena ibu akan segera berangkat kerja. Aku tidak mau pagiku terlewati tanpa mencium tangannya. Pak Nur tersenyum melihatku, memakai sandal sambil berlari. Pasti beliau sudah hafal kebiasaanku. “Hati-hati, Aris!” Ucapnya sambil tersenyum. Aku balas dengan anggukan kepala dan segera melesat pulang.

Sesampai di rumah, Ibu sudah rapi, sudah berjilbab dan sedang memakai jaketnya. Itu berarti Ibu sudah siap berangkat. Senyumnya lepas menyambutku yang berlari dengan terengah-engah.

“Nggak usah berlari, Ibu pasti menunggumu pulang dari Masjid!” Ibu memelukku dan mencium rambutku. Ritual pagi yang selalu kusuka.

“Segera bangunkan adikmu yaa, suruh cepat mandi dan ajak makan, baju seragamnya sudah Ibu siapkan. Sholatmu jangan sampai telat, maafkan Ibu ya Mas, selalu merepotkanmu” Ibu mengatakannya sambil tetap memelukku. Pesan yang sudah kuhafal karena tiap pagi diucapkannya.

“Siap Ibu Komandan!” Aku melepaskan pelukan Ibu, tanganku bergaya hormat seperti pak tentara. Terima kasih atas masakannya yang lezat, jangan khawatir nanti Ibu pulang pasti sudah kuhabiskan semua.” 

Ibu tertawa lebar, mengambil helm dan siap berangkat. Aku cium tangannya dan melambaikan tangan sampai sepeda motor ibu menghilang di tikungan depan. 

“Hati-hati buuuuu, cepat pulaaang!” teriakanku akan dijawab ibu dengan anggukan kepala dan lambaian tangannya.

Sejak Ayah meninggal tiga tahun yang lalu, Ibu menjadi tulang punggung keluarga kami. Ibu harus mencari nafkah untuk aku dan adikku semata wayang, Diana, dengan bekerja di pabrik.  Kata Ibu jarak pabriknya lumayan jauh dari rumah. Itulah mengapa ibu selalu berangkat pagi-pagi, dan pulang menjelang petang. Aku sendiri belum pernah diajak Ibu ke pabriknya. Kata ibu tidak penting ibu bekerja dimana yang penting halal. Aku setuju saja.

Tetapi sepagi apapun Ibu berangkat, Ibu masih sempat memasak untukku dan membereskan rumah. Tugasku hanya menjaga adikku saja. Kebetulan aku dan adikku bersekolah di sekolah yang sama. Diana kelas satu dan aku kelas enam. Diana pulang lebih awal dan dia akan menunggu di rumah mbak Emy, yang tinggal disamping sekolahan sampai waktuku pulang tiba.

Bila sore menjelang, biasanya aku dan Diana mengaji di Masjid dekat rumahku sampai saatnya sholat maghrib tiba. Tetapi tidak untuk hari ini. Dari kemarin teman-teman ramai membicarakan tentang suara klakson bis yang kencang dan bagus yang sedang ramai dibicarakan di seluruh dunia. Aku sangat penasaran. Aku sempat mendengarkan di handphone temanku kemarin, tetapi sayang tidak begitu jelas. Maka hari ini aku berencana dengan Eko dan Roni untuk pergi ke desa sebelah yang jalan rayanya dilewati bus-bus besar, karena memang dekat dengan terminal bus antar kota. Agar kami bisa mendengarkan suara klaksonnya secara langsung.  

Sebelum berangkat, aku ijin kepada pak Nur untuk tidak ikut mengaji.  Untung pak Nur yang sabar hanya mengangguk dan tidak banyak bertanya. 

Desa sebelah tidaklah jauh dari rumahku, hanya sekitar empat kilo saja. Hanya perlu waktu setengah jam untuk sampai kesana dengan bersepeda. Kukayuh sepedaku  mengikuti Eko dan Roni yang sudah duluan di depan. Mungkin karena harus membonceng Diana yang lumayan gendut, maka aku tidak bisa mengayuh dengan cepat.

Sesampai di pinggir jalan, ternyata sudah banyak anak-anak yang berkumpul. Mungkin ada sepuluh sampai lima belas anak.  Aku mengeluarkan tulisan yang sudah kusiapkan sejak di sekolah tadi, kulihat beberapa anak juga membawa tulisan bermacam-macam. Tulisanku sendiri berbunyi “Mau teloletnyaa doong... Om!!” Dan Tulisan itu akan kami tunjukkan kepada sopir bus yang busnya lewat di depan kami. Bila sopirnya berbaik hati, maka dia akan membunyikan klaksonnya dengan kencang ... teloleeetttt teloleeett...Dan berjingkrak-jingkraklah anak-anak itu bila sudah berhasil mendengarkan bunyi klaksonnya. Sederhana bukan?

Sangat sederhana memang, tetapi itu ternyata sudah cukup membuat kami bahagia. Diana tampak terpingkal-pingkal menari-nari bila mendengar suara klakson itu membahana. Dan tidak ada bahagia lain bagiku selain bisa melihat Diana tertawa. Sudah setengah jam kami berdiri di pinggir jalan dan sudah empat kali kami mendengar suara klakson itu. Memang tidak semua bis mempunyai suara klakson seperti itu. Yang punya pun belum tentu sang sopir mau membunyikannya.

Ketika matahari semakin condong ke barat, aku mengajak Eko untuk pulang. Aku takut ketahuan ibu. Karena terus terang aku tidak pamit kepada Ibu. Aku cuma ingin membuat Diana senang saja. Aku takut Ibu marah, Ibu paling tidak suka aku bermain ke desa sebelah, kata Ibu berbahaya bermain di pinggir jalan raya. Banyak kendaraan besar yang lewat dengan kecepatan tinggi. Aku biasanya mematuhi perintah Ibu. Tetapi tidak untuk kali ini.  

“Aduh, Aris... Maghrib masih lama. Jangan buru-buru pulang. Lihat itu Diana masih ingin mendengarkan lagi” Tidak Cuma Eko, ternyata Roni juga menolak kuajak pulang.

“Trus sampai jam berapa?” Aku sedikit cemas, takut mereka benar-benar pulang menjelang maghrib.

“Ya paling nggak sampai kita mendapatkan dua klakson lagi deh” Eko tersenyum sambil mengangkat kertasnya.

“Baiklah”, jawabku dengan berat hati. Aku tidak jadi memisahakan diri.
“Bentar lagi Mas, ada yang lewat Bis Pandu Jaya, klaksonnya kenceeng banget, lebih seru deh!” seorang anak dari  desa sebelah mendekatiku sambil menepuk pundakku. Henry namanya.

“Koq kamu tahu?” Aku penasaran bertanya. Aku heran kenapa Henry bisa tahu lebih dulu.
“Yaaa aku tiap hari kan bermain disini, jadi aku hafal dong” Henry menjawab dengan bangga. Aku tersenyum, tak bisa kusembunyikan rasa penasaranku. Ingin rasanya segera melihat bus itu lewat.

“Yang seru lagi, tau nggak?” Tiba-tiba Henry bertanya padaku.
“Apa?” Jawabku. Apakah sopir itu selalu mau membunyikan klaksonnya?” Aku takut jangan-jangan nanti si Sopir malas membunyikannya padahal aku penasaran sekali dengan suara kencangnya.

“Kalau itu pastilah, dia selalu mau!” Henry tersenyum simpul.
“Lalu apa dong yang lebih seru lagi?” Aku semakin penasaran.
“Sopirnya perempuan!” Jawab Henry sambil terbahak.
“Appaaa??? Perempuan??? Masaaakk sihhh??” Aku kaget bercampur heran

Belum sempat Henry menjawab. Bis yang kutunggu sudah kelihatan dari jauh. Tulisan Pandu Jaya berwarna merah tampak gagah di depan bis. Anak-anak berteriak mengacungkan tulisannya sambil melompat-lompat . Kudengar suara klakson yang sangat kencaang membahanaaa.... TELOLEEEETTTTT TELOLLEETTTTTT TELOLEETTTTTTTTTT....
Anak-anak berjingkrak jingkrak kegirangan, ada yang melompat ada yang menari ada yang sampai jatuh berguling-guling, menikmati suara klakson yang kencang  tiada duanya itu.

Suara klakson itu benar-benar membuatku terpesona, kulihat Diana melompat setinggi-tingginya sambil berteriak kegirangan, bahagia rasa hatiku. Tiba-tiba Henry menghampiriku, menarik bajuku mengajak melompat agar aku bisa jelas melihat sang sopir. Mataku dengan jelas melihat seorang ibu-ibu yang duduk di tempat sopir itu tampak sigap memegang setir sambil tersenyum. Mungkin senyum bahagia bisa membuat anak-anak itu kegirangan.

Tetapi jantungku terasa berhenti berdetak melihat sopir perempuan itu, senyum itu.., jaket itu..., jilbab itu.... Mataku seketika basah. Aku tarik Diana, memeluknya dan segera mengajaknya pulang. Tak kuhiraukan teriakan Eko dan Roni yang mengejarku.


Read More