LAST MINUTE WORKER

Kamis, 23 Maret 2017



 
Deadline datang padahal setrikaan menumpuk, jadi deehhhh...
Aku menyebut diriku sebagai last minute worker alias deadliner. Maksud last minute worker disini adalah  mengerjakan tugas atau menyelesaikan sesuatu pada menit-menit terakhir menjelang deadline, menjelang batas akhir waktunya. Para mahasiswa dulu juga sering mengatakan SKS atau sistem kebut semalam, tugasnya sudah diberikan beberapa bulan yang lalu, tetapi kita mengerjakannya hanya dalam waktu semalam saja. Walaupun harus gedubrakan terburu-buru karena dikejar waktu, tetapi aku tetap saja melakukannya. Kebiasaan jelekku ini sudah menjadi penyakit yang akut, bahkan kronis, bersemayam pada diriku. Dan sudah kulakukan sejak SD bahkan sampai kini ketika aku sudah beranak pinak menjadi seorang ibu. Penyakitku ini bukannya sembuh malah semakin parah.
Aku ingat pada waktu masih sekolah, baik ketika SD, SMP ataupun SMA, ketika aku mendapat Pekerjaan Rumah, aku akan mengerjakannya pada detik-detik terakhir ketika besok paginya akan dikumpulkan. Begitu mendapat PR itu, aku cuma melihatnya sekilas, lalu aku akan menutupnya bukannya langsung mengerjakan, apalagi kalau aku tidak bisa mengerjakan, semakin malas aku mengerjakannya. Seminggu kemudian, ketika ada pelajaran itu lagi, baru malamnya aku mengerjakannya, tentu saja dengan gedubrakan. Sudah kebal telingaku bila ibuku sibuk mengomel, melihat aku begadang mengerjakan tugas. Beliau pasti akan marah-marah, mengatakan aku tidak pandai membagi waktu, lebih mendahulukan hal-hal yang tidak penting dan lain dan sebagainya. Maafkan aku, Ibu. Ibu tidak tahu, ketika saat-saat terakhir seperti itulah sesungguhnya tiba-tiba otakku menjadi encer dan aku mendapatkan kemudahan mengerjakan semuanya. Yang semula aku tidak memahaminya maka tiba-tiba aku langsung seperti mendapat kemudahan menyelesaikannya. Entahlah, aku sendiri tidak tahu mengapa begitu.
Ketika aku duduk di bangku kuliah, penyakit last minute workerku ini semakin parah saja. Apalagi aku tinggal di tempat kost, tidak ada lagi Ibu yang selalu mengingatkan aku, apakah ada PR apa tidak, apakah sudah mengerjakan tugas apa belum, dan masih banyak lagi. Belum lagi nasehat ibu yang menyuruhku untuk memprioritaskan yang penting dahulu, untuk pandai-pandai membagi waktu dan masih banyak nasehat ibu yang selalu kudengarkan saja tetapi tidak kugubris. Yang ada hanyalah teman sekamarku yang sibuk geleng-geleng kepala melihat aku tidak tidur semalaman mengerjakan tugas yang harus segera dikumpulkan. Padahal sebetulnya tugas itu sudah diberikan sebulan yang lalu, ouw kemana saja akuuu??...

Maka teman kostku sudah tidak heran lagi, bila mendengar suara mesin ketik, pada waktu itu komputer masih menjadi barang mewah, tak tik tuk tak tik tuk menghiasi malam hingga menjelang pagi. Yup, itu pasti aku sedang begadang. Padahal banyak teman sekelasku yang selalu rajin mengingatkan, sudah selesai belum tugasnya? sudah dapat belum referensinya? sudah dikerjakan sampai mana? Seperti biasa aku hanya menenangkan mereka dan mengatakan pasti selesai kalau waktunya dikumpulkan. Aku benar-benar tidak peduli, padahal Benjamin Franklin juga mengatakan  “Don't put off until tomorrow what you can do today.” Yang intinya kita sebaiknya tidak menunda pekerjaan yang bisa diselesaikan hari ini. Tapi tetap saja aku menundanya.

Herannya aku juga selalu bisa mengumpulkan tepat waktu dan mendapatkan nilai yang bagus. Entahlah, ketika saat-saat menjelang deadline, tiba-tiba semua pikiranku terbuka, aku seperti dimudahkan memahami tugas itu dan mengerjakannya dengan lancar. Padahal sudah seminggu aku memikirkannya selalu tidak ada ide dan menemui jalan buntu, tetapi begitu mepet deadline, tiba-tiba saja ada jalan keluar sehingga aku bisa dan selesai mengerjakannya. Beberapa teman mengatakan, aku mengerjakan dengan terburu-buru saja, nilaiku sudah bagus, coba kalau aku mengerjakan jauh-jauh hari sebelumnya pasti aku akan mendapatkan nilai yang lebih sempurna lagi. Mereka tidak tahu, bahwa kalau jauh-jauh hari justru otakku buntu tidak bisa menemukan jawabannya.
Ketika aku kuliah lagi, mengambil program masterku, ternyata penyakitku semakin parah saja. Aku tetap mengerjakan semua tugasku pada saat menjelang deadline dan tentu saja dengan gedubrakan. Padahal aku sudah berumah tangga dan anakku sudah empat hehehe... Aku lupa bahwa banyak hal yang tidak terduga bisa saja terjadi. Apalagi aku sudah berumah tangga. Tetapi bagaimana lagi, aku memang tidak bisa mengerjakan bila belum mendekati waktunya dikumpulkan.
Suatu saat aku pernah mendapat tugas disuruh mencari contoh folktale dan lalu menganalisanya. Tugas itu diberi waktu satu bulan. Selama sebulan aku browsing-browsing dan membaca-baca banyak literatur, tetapi aku tetap tidak juga bisa mengerjakan tugasku. Eh begitu besoknya mau dikumpulkan, ide cemerlang itu langsung datang. Sayangnya tiba-tiba anakku sakit panas. Aku benar-benar kebingungan. Padahal besok hari terakhir mengumpulkan, dan aku harus merawat anakku. Akhirnya dengan terpaksa aku mengerjakannya sambil menggendong anakku, berdiri di depan meja, dengan satu tangan mengetik di laptop, dan tangan satunya menggendong anakku.  Suamiku sampai terheran-heran, koq masih saja aku menunda-nunda pekerjaan, kan jadi susah kalau ada yang sakit atau ada masalah lain. Suamiku, seperti ibuku dulu, juga tidak tahu bahwa ideku baru datang kalau sudah menjelang waktunya deadline.  Memang seringkali aku tidak pernah punya ide mau menulis apa, tetapi begitu malam menjelang deadline langsung ide itu bermunculan. Dan lancar sekali pula aku menuliskannya. Entahlah mengapa demikian..
Kalau sudah deadline, terpaksa menulis dimana saja...

Yang merugikan lagi, aku jadi sering ketinggalan event-event lomba menulis yang penting. Aku memang rajin mengikuti lomba menulis. Tetapi ya begitu deh, aku akan mengerjakannya begitu mepet deadline. Jadi ketika tiba-tiba ada sesuatu masalah terjadi, akhirnya dengan terpaksa aku batal mengikuti event itu. Tak jarang, aku baru mengerjakan satu jam sebelum deadline, kalau tiba-tiba komputer ngadat, jaringan lemot, bisa ditebak aku pasti gagal mengikuti event itu.
Ada teman yang sering mengatakan padaku, bagaimana aku bisa mewujudkan impianku menjadi penulis terkenal bila aku hanya mau menulis bila mood datang saja? Seharusnya sebagai seorang penulis profesional, setiap hari aku harus menulis. Sebaiknya aku meluangkan waktu untuk menulis entah setengah jam atau satu jam agar menulis itu bisa menjadi kebiasaan yang terus kulakukan. Apa yang dikatakan temanku ini memang betul, tetapi kenapa sulit sekali aku melakukannya? 
Kebiasaan jelekku menjadi last minute worker ini memang bisa disebabkan karena aku kurang bisa membagi waktu dengan baik, mungkin manajemen waktuku yang harus diatur ulang sehingga aku tidak perlu menunda-nunda waktu ketika mengerjakan sesuatu. Padahal aku juga sudah mengetahui bahwa waktu adalah pedang, kalau aku tidak bisa mengaturnya dengan baik, maka tentu akan membahayakan diriku sendiri . Imam Syafi'i Rahaimahullah pernah berkata:

الْوَقْتُ كَالسَيْفِ اِنْ لَمْ تَقْطَعهُ قَطَعَكَ
"Waktu itu bagaikan pedang, jikalau kamu tidak bisa menggunakan pedang itu, maka pedang itu sendiri yang akan menghunusmu."

Jadi kita harus bisa mengatur waktu yang kita miliki. Berapa banyak pekerjaan kita, dan berapa besar waktu yang kita punya harus kita atur sebaik-baiknya, agar semua tanggungjawab bisa terpenuhi dan terlaksana.
Hasan Al Banna mengatakan pula bahwa, ”Alwaajibatu Aktsaru minal Auqoot.” Kewajiban yang dibebankan kepada kita itu lebih banyak daripada waktu yang kita miliki. Ketika kita menunda menyelesaikan suatu perkara, itu berarti kita sedang menumpuk-numpuk kewajiban. Semakin kita sering menunda waktu maka semakin banyak timbunan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sehingga apabila kita menunda berarti kita hidup dalam tumpukan-tumpukan kewajiban untuk diselesaikan dalam waktu yang lebih sedikit.
Jadi ingat sabda Rasulullah yang berkaitan dengan pentingnya mempersegerakan suatu urusan “Bersegeralah melakukan perbuatan baik, karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap.” (HR. Muslim). ” Juga Ibnu umar yang mengatakan “Bila engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi, dan bila engkau di pagi hari, maka janganlah menunggu datangnya sore.” Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu. Kurang apalagi coba, begitu banyak peringatan itu, tetapi masih susah bagiku untuk menghilangkan kebiasaan buruk ini huhuhu...
Aku jadi teringat lagu RAIHAN, sebuah kelompok nasyid, yang berjudul Demi Masa, yang liriknya sebagai berikut :
Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sehat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati
Maka dari semua penjelasanku diatas, ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil dan harus kujadikan tekad agar aku tidak lagi menjadi last minut worker:
1.      Jangan menunda-nunda pekerjaan
2.      Jangan membuang waktu percuma
3.      Aturlah jadwalmu dan patuhilah
4.      Buatlah skala prioritas mana yang harus didahulukan mengerjakannya
5.      Usahakan fokus ketika mengerjakan sesuatu hal sehingga kita memahaminya dan bisa menyelesaikannya dengan baik, tidak perlu menunggu mood datang.
Semoga semua pengalaman yang sudah kuceritakan itu, bisa menjadikanku introspeksi dan menjadikan ke depannya lebih baik lagi. Aku tahu bila ingin menjadi penulis yang hebat, aku harus siap menulis kapan saja, tidak perlu menunggu waktu deadline atau menunggu mood datang. Selamat tinggal deadliner, good bye last minute worker. Semoga tekadku dan azzamku yang kuat ini, bisa mengubah kebiasaan jelekku ini...




Read More

ABADILAH GURU YANG MENULIS

Jumat, 17 Februari 2017

Yang fana adalah waktu,
Kita abadi,
Memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga, sampai pada suatu hari.
kita lupa, untuk apa..
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" Tanyamu
KIta abadi
(Sapardi Djoko Damono)


Karyaku akan abadi walaupun aku telah tiada

Helvy Tiana Rosa mengatakan bahwa nama kita tidak akan mati bahkan bila kita mati. Apa maksud kalimat itu? Bagaimana mungkin kita abadi, sedangkan kita adalah makhluk yang fana? Kita tentu tahu JRR Tolkien? Yup, beliau adalah pencipta novel Lord of The Rings. Novelnya kemudian difilmkan oleh Peter Jackson. Sudah sejak tahun 1971 beliau meninggal, tetapi begitu novelnya muncul sebagai film, orang pasti akan mengingatnya kembali dan mengenangnya kembali. Ada lagi Theodor Geisel atau Dr. Seuss, penulis dan kartunis dari Amerika yang meninggal pada tahun 1991 juga Charles M schulz kartunis terkenal pencipta snoopy yang meninggal tahun 2000an. Mereka semua sudah meninggal tetapi karyanya tentu masih dibaca orang sampai sekarang.
Demikian juga para pujangga Indonesia seperti Marah Rusli dengan Siti Nurbayanya, Tulis Sutan Sati dengan Sengsara Membawa Nikmat, Sutan Takdir Alisyahbana dengan Layar Terkembang, Abdul Muis dengan Salah Asuhan, HAMKA dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah dan masih banyak lagi. Mereka semua sudah tiada tetapi karya-karyanya masih tetap dibaca dan dinikmati banyak orang. Jasad mereka boleh jadi sudah berkalang tanah, tetapi karya mereka, nama mereka tetap abadi, dikenang orang.
Jadi itulah maksud tulisan Helvy Tiana Rosa diatas, bahwa bila kelak kita sudah tiada, maka tulisan kita tetap hidup, tetap ada untuk dibaca. Seolah-olah hal itu menjadikan kita abadi, tetap ada tidak pernah mati. Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat saya, meninggal dunia, saya sering bolak balik melihat facebooknya juga blognya. Saya baca-baca statusnya, saya membaca lagi tulisannya di blog, saya tahu sahabatku ini sudah meninggal, tetapi karyanya, tulisannya masih akan selalu dibaca dan diingat orang. Sejak itulah saya selalu memaksa diri untuk menulis. Bagaimana mungkin cita-cita saya menjadi penulis terkenal bisa terwujudkan, bila saya  tak juga mulai menulis? Maka benarlah kata Imam Al Ghozali, jika kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis. Dengan menjadi penulis, maka kita bisa dikenal dan dikenang orang. Kita akan abadi.
Memang sulit memaksa diri untuk menulis setiap hari. Sebaiknya kita mempunyai jadwal tertentu untuk menulis, dan kita harus belajar mematuhinya. Menurut JK Rowling mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kita ketahui, atau tentang pengalaman dan perasaan kita sendiri. Jadilah itu yang saya lakukan, hanya menulis hal-hal yang saya tahu dan saya rasakan. Tidak perlu hal-hal yang sulit. Tentu mudah bagi guru bahasa Inggris seperti saya menulis tentang bagaimana mengajar bahasa Inggris. Saya tinggal mengingat-ingat apa saja yang saya lakukan ketika mengajar kemudian saya tuliskan. Mungkin saya bisa  juga browsing tentang bagaimana orang lain mengajar bahasa Inggris.  Kemudian menambahkannya ke dalam tulisan saya, sehingga tulisan saya akan lebih berwarna.  Beda ceritanya kalau saya disuruh menulis tentang bagaimana cara terbang ke Planet Venus. Tentu akan sulit bagi saya, karena selain memang belum pernah pergi sendiri ke Planet Venus, mencari referensi atau sumber beritanya pun akan sangat sulit. Jadi memang lebih mudah menuliskan hal-hal yang kita ketahui dan kita kuasai saja.
Tere Liye dalam suatu seminar menulis mengatakan,  Alah bisa karena biasa. Demikian juga dengan menulis, kalau kita terbiasa menulis, akan mudah bagi kita untuk menuangkan ide dan gagasan kita ke dalam tulisan. Pernahkah kita melihat seorang ibu memasak membawa penggaris untuk mengukur tempe atau sayuran agar irisan panjangnya sama? Tentu tidak pernah bukan? Tetapi bagaimana tempe dan sayuran yang dipotong bisa kelihatan sama panjangnya, padahal tidak menggunakan penggaris atau alat ukur lainnya? Itulah dahsyatnya suatu kebiasaan. Karena kita terbiasa memotong sayuran, maka lama-lama potongan kita akan sempurna dan tampak sama panjangnya. Karena kita terbiasa memasak, maka lama-lama masakan kita akan menjadi lezat. Begitu pula jika kita menulis, semakin sering menulis, semakin rajin menuangkan gagasan kita, maka lama-lama tulisan kita akan mengalir dan menjadi enak dibaca. Apabila banyak orang yang menyukai tulisan kita, tentu pada akhirnya tulisan kita akan menjadi best seller dan kita bisa menjadi penulis yang mumpuni dan terkenal.

Sesuai dengan permendikbud Nomor 23 tahun 2015 dan sebagai lanjutan dari Gerakan Literasi Nasional, maka sesungguhnya guru tidaklah bisa dipisahkan dari menulis. Karena kehidupan seorang guru memang tidak akan pernah lepas dari kata menulis. Guru harus menyiapkan bahan ajarnya, menyiapkan skenario rencana pengajarannya, membuat penelitian tindakan kelas, menulis untuk pengembangan profesinya, untuk menambah angka kreditnya, dan masih banyak lagi. Sebagai seorang guru, tentu diharapkan tulisan kita adalah tulisan yang bermanfaat. Yang  bisa membawa perubahan, membawa kebaikan bagi sesama. Diharapkan tulisan kita bisa berguna  bagi orang lain, memberitahu tanpa bermaksud menggurui, menyampaikan kebenaran tanpa disadari bagi yang membacanya. Bukankah itu membuat kita bercahaya di ahirat kelak? Karena itu akan menjadi ladang amal jariyah kita?
Pramodeya Ananta Toer mengatakan juga bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Maka ayolah menulis mulai sekarang, tunggu apalagi? Biarpun kita sudah tiada, maka karya kita akan tetap abadi. Yuk, menjadi guru yang abadi!






Read More

IBUKU TELOLETKU

Kamis, 22 Desember 2016




 CERPEN


Aku bergegas menyelesaikan doaku, mengucapkan amin sambil mengusap mukaku. Kutarik sarungku ke atas dan menyilangkannya di dada agar tidak mengganggu lariku. Seperti biasa aku harus cepat-cepat pulang, karena ibu akan segera berangkat kerja. Aku tidak mau pagiku terlewati tanpa mencium tangannya. Pak Nur tersenyum melihatku, memakai sandal sambil berlari. Pasti beliau sudah hafal kebiasaanku. “Hati-hati, Aris!” Ucapnya sambil tersenyum. Aku balas dengan anggukan kepala dan segera melesat pulang.

Sesampai di rumah, Ibu sudah rapi, sudah berjilbab dan sedang memakai jaketnya. Itu berarti Ibu sudah siap berangkat. Senyumnya lepas menyambutku yang berlari dengan terengah-engah.

“Nggak usah berlari, Ibu pasti menunggumu pulang dari Masjid!” Ibu memelukku dan mencium rambutku. Ritual pagi yang selalu kusuka.

“Segera bangunkan adikmu yaa, suruh cepat mandi dan ajak makan, baju seragamnya sudah Ibu siapkan. Sholatmu jangan sampai telat, maafkan Ibu ya Mas, selalu merepotkanmu” Ibu mengatakannya sambil tetap memelukku. Pesan yang sudah kuhafal karena tiap pagi diucapkannya.

“Siap Ibu Komandan!” Aku melepaskan pelukan Ibu, tanganku bergaya hormat seperti pak tentara. Terima kasih atas masakannya yang lezat, jangan khawatir nanti Ibu pulang pasti sudah kuhabiskan semua.” 

Ibu tertawa lebar, mengambil helm dan siap berangkat. Aku cium tangannya dan melambaikan tangan sampai sepeda motor ibu menghilang di tikungan depan. 

“Hati-hati buuuuu, cepat pulaaang!” teriakanku akan dijawab ibu dengan anggukan kepala dan lambaian tangannya.

Sejak Ayah meninggal tiga tahun yang lalu, Ibu menjadi tulang punggung keluarga kami. Ibu harus mencari nafkah untuk aku dan adikku semata wayang, Diana, dengan bekerja di pabrik.  Kata Ibu jarak pabriknya lumayan jauh dari rumah. Itulah mengapa ibu selalu berangkat pagi-pagi, dan pulang menjelang petang. Aku sendiri belum pernah diajak Ibu ke pabriknya. Kata ibu tidak penting ibu bekerja dimana yang penting halal. Aku setuju saja.

Tetapi sepagi apapun Ibu berangkat, Ibu masih sempat memasak untukku dan membereskan rumah. Tugasku hanya menjaga adikku saja. Kebetulan aku dan adikku bersekolah di sekolah yang sama. Diana kelas satu dan aku kelas enam. Diana pulang lebih awal dan dia akan menunggu di rumah mbak Emy, yang tinggal disamping sekolahan sampai waktuku pulang tiba.

Bila sore menjelang, biasanya aku dan Diana mengaji di Masjid dekat rumahku sampai saatnya sholat maghrib tiba. Tetapi tidak untuk hari ini. Dari kemarin teman-teman ramai membicarakan tentang suara klakson bis yang kencang dan bagus yang sedang ramai dibicarakan di seluruh dunia. Aku sangat penasaran. Aku sempat mendengarkan di handphone temanku kemarin, tetapi sayang tidak begitu jelas. Maka hari ini aku berencana dengan Eko dan Roni untuk pergi ke desa sebelah yang jalan rayanya dilewati bus-bus besar, karena memang dekat dengan terminal bus antar kota. Agar kami bisa mendengarkan suara klaksonnya secara langsung.  

Sebelum berangkat, aku ijin kepada pak Nur untuk tidak ikut mengaji.  Untung pak Nur yang sabar hanya mengangguk dan tidak banyak bertanya. 

Desa sebelah tidaklah jauh dari rumahku, hanya sekitar empat kilo saja. Hanya perlu waktu setengah jam untuk sampai kesana dengan bersepeda. Kukayuh sepedaku  mengikuti Eko dan Roni yang sudah duluan di depan. Mungkin karena harus membonceng Diana yang lumayan gendut, maka aku tidak bisa mengayuh dengan cepat.

Sesampai di pinggir jalan, ternyata sudah banyak anak-anak yang berkumpul. Mungkin ada sepuluh sampai lima belas anak.  Aku mengeluarkan tulisan yang sudah kusiapkan sejak di sekolah tadi, kulihat beberapa anak juga membawa tulisan bermacam-macam. Tulisanku sendiri berbunyi “Mau teloletnyaa doong... Om!!” Dan Tulisan itu akan kami tunjukkan kepada sopir bus yang busnya lewat di depan kami. Bila sopirnya berbaik hati, maka dia akan membunyikan klaksonnya dengan kencang ... teloleeetttt teloleeett...Dan berjingkrak-jingkraklah anak-anak itu bila sudah berhasil mendengarkan bunyi klaksonnya. Sederhana bukan?

Sangat sederhana memang, tetapi itu ternyata sudah cukup membuat kami bahagia. Diana tampak terpingkal-pingkal menari-nari bila mendengar suara klakson itu membahana. Dan tidak ada bahagia lain bagiku selain bisa melihat Diana tertawa. Sudah setengah jam kami berdiri di pinggir jalan dan sudah empat kali kami mendengar suara klakson itu. Memang tidak semua bis mempunyai suara klakson seperti itu. Yang punya pun belum tentu sang sopir mau membunyikannya.

Ketika matahari semakin condong ke barat, aku mengajak Eko untuk pulang. Aku takut ketahuan ibu. Karena terus terang aku tidak pamit kepada Ibu. Aku cuma ingin membuat Diana senang saja. Aku takut Ibu marah, Ibu paling tidak suka aku bermain ke desa sebelah, kata Ibu berbahaya bermain di pinggir jalan raya. Banyak kendaraan besar yang lewat dengan kecepatan tinggi. Aku biasanya mematuhi perintah Ibu. Tetapi tidak untuk kali ini.  

“Aduh, Aris... Maghrib masih lama. Jangan buru-buru pulang. Lihat itu Diana masih ingin mendengarkan lagi” Tidak Cuma Eko, ternyata Roni juga menolak kuajak pulang.

“Trus sampai jam berapa?” Aku sedikit cemas, takut mereka benar-benar pulang menjelang maghrib.

“Ya paling nggak sampai kita mendapatkan dua klakson lagi deh” Eko tersenyum sambil mengangkat kertasnya.

“Baiklah”, jawabku dengan berat hati. Aku tidak jadi memisahakan diri.
“Bentar lagi Mas, ada yang lewat Bis Pandu Jaya, klaksonnya kenceeng banget, lebih seru deh!” seorang anak dari  desa sebelah mendekatiku sambil menepuk pundakku. Henry namanya.

“Koq kamu tahu?” Aku penasaran bertanya. Aku heran kenapa Henry bisa tahu lebih dulu.
“Yaaa aku tiap hari kan bermain disini, jadi aku hafal dong” Henry menjawab dengan bangga. Aku tersenyum, tak bisa kusembunyikan rasa penasaranku. Ingin rasanya segera melihat bus itu lewat.

“Yang seru lagi, tau nggak?” Tiba-tiba Henry bertanya padaku.
“Apa?” Jawabku. Apakah sopir itu selalu mau membunyikan klaksonnya?” Aku takut jangan-jangan nanti si Sopir malas membunyikannya padahal aku penasaran sekali dengan suara kencangnya.

“Kalau itu pastilah, dia selalu mau!” Henry tersenyum simpul.
“Lalu apa dong yang lebih seru lagi?” Aku semakin penasaran.
“Sopirnya perempuan!” Jawab Henry sambil terbahak.
“Appaaa??? Perempuan??? Masaaakk sihhh??” Aku kaget bercampur heran

Belum sempat Henry menjawab. Bis yang kutunggu sudah kelihatan dari jauh. Tulisan Pandu Jaya berwarna merah tampak gagah di depan bis. Anak-anak berteriak mengacungkan tulisannya sambil melompat-lompat . Kudengar suara klakson yang sangat kencaang membahanaaa.... TELOLEEEETTTTT TELOLLEETTTTTT TELOLEETTTTTTTTTT....
Anak-anak berjingkrak jingkrak kegirangan, ada yang melompat ada yang menari ada yang sampai jatuh berguling-guling, menikmati suara klakson yang kencang  tiada duanya itu.

Suara klakson itu benar-benar membuatku terpesona, kulihat Diana melompat setinggi-tingginya sambil berteriak kegirangan, bahagia rasa hatiku. Tiba-tiba Henry menghampiriku, menarik bajuku mengajak melompat agar aku bisa jelas melihat sang sopir. Mataku dengan jelas melihat seorang ibu-ibu yang duduk di tempat sopir itu tampak sigap memegang setir sambil tersenyum. Mungkin senyum bahagia bisa membuat anak-anak itu kegirangan.

Tetapi jantungku terasa berhenti berdetak melihat sopir perempuan itu, senyum itu.., jaket itu..., jilbab itu.... Mataku seketika basah. Aku tarik Diana, memeluknya dan segera mengajaknya pulang. Tak kuhiraukan teriakan Eko dan Roni yang mengejarku.


Read More

SEMAKIN CANTIK DI #USIACANTIK

Rabu, 23 November 2016



Sudah bukan rahasia lagi bila seorang wanita merasa gelisah dengan semakin bertambahnya usia. Ada saja yang mereka takutkan seperti semakin bertambah berat badannya, semakin keriput wajahnya dan masih banyak lagi yang membuat mereka harus melakukan banyak hal untuk mencegahnya.
Tidak heran bila kemudian banyak wanita aktif melakukan olahraga, mengikuti perawatan wajah dan tubuh, melakukan diet makanan, dan berbagai hal untuk menjaga kebugaran tubuhnya dan kecantikan wajahnya. 
Mengajar murid-muridku adalah wujud aktualisasi diri
Padahal kecantikan yang sesungguhnya bukanlah berasal dari kecantikan fisik semata, inner beauty itu lebih utama. Apabila kita bisa menjadi pribadi yang ramah dan menyenangkan bagi sesama, kita selalu menebar kebaikan, selalu berusaha bermanfaat bagi orang lain, dan juga selalu mempunyai positif thinking dalam segala hal, maka hal itu lebih utama karena akan memancarkan inner beauty kita.
Dalam usiaku yang sudah berkepala empat ini, tidak membuatku menjadi minder dengan keadaan tubuhku yang memang mungkin sudah sangat berbeda dibandingkan dulu. Sebagai seorang ibu-ibu berputera empat tentu wajarlah bila terjadi perubahan fisik padaku. Sebetulnya, aku bukanlah orang yang terlalu pusing dengan urusan seperti itu. Bagiku yang penting adalah sehat dan bisa melaksanakan peranku dan tugasku dengan baik.
Selalu melakukan yang terbaik buat muridku
Aku adalah seorang guru SMP di SMP Negeri di Kabupaten Lamongan, sebuah kota kecil tak jauh dari Surabaya. Tak hanya sebagai seorang ibu dengan empat orang anak, aku juga seorang guru yang juga sedang senang sekali belajar menulis dan belajar menjadi blogger. Sudah terbayang bukan bagaimana sibuknya aku dan bagaimana aku harus mejalani semua aktifitasku itu.

L'oreal membantuku menjaga kecantikan kulitku
Aku mengajar bahasa Inggris di sekolahku. Sebagai salah satu mata pelajaran Ujian Nasional, maka tak jarang aku harus memberi pelajaran tambahan di sekolah yang menyebabkan aku harus pulang sore. Itu karena aku ingin menjadi guru yang baik yang benar-benar bisa membagikan ilmuku kepada murid-muridku dan bisa menjadikan mereka generasi penerus bangsa yang hebat. Di hari liburku atau di waktu luangku, aku mengisinya dengan aktif menulis dan juga aktif di kegiatan blogger. Kebetulan aku tinggal di kota kecil, jadi aku harus pergi ke Surabaya atau ke kota besar lainnya untuk bisa mengembangkan hobiku ini. Belum lagi menjadi ibu dengan empat anakku yang semua minta perhatian lebih, apalagi ada satu anakku yang bersekolah di luar kota, perlu waktu khusus untuk menjenguknya tentu. Nah, bisa dibayangkan betapa sibuknya aku.

Berusaha menjadi Blogger yang professional, kalau akhirnya mendapat hadiah, itu bonusnya.
    Justru di Usia yang memasuki kepala empat inilah, aku semakin merasa bisa mengaktualisaikan diriku.Aku ingin menjadi istri yang perhatian terhadap suamiku, menjadi ibu yang baik buat anak-anakku, ingin menjadi guru yang hebat buat murid-muridku, menjadi penulis dan blogger yang profesional dan bertanggung jawab terhadap profesiku, menjadi warga masyarakat yang bermanfaat bagi sesama, dan masih lagi yang bisa kulakukan untuk mengaktualisasikan keberadaanku agar hidupku ini berguna bagi sesama. Maka ada beberapa hal yang  kulakukan agar aku bisa menikmati #usia cantikku ini, yaitu dengan : 
1. Senantiasa menjaga kebugaran tubuh
Bisa dengan mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi dan juga melakukan olah raga yang teratur.
2. Menjaga kebersihan wajah
Karena harus mengajar di depan murid-murid atau menjadi pembicara di acara seminar menulis,   maka penampilan wajah yang cantik berseri selalu kuperhatikan. Bukan berarti penampilan wajah dengan make-up tebal lho yaaa...
Me time dengan pergi ke salon itu bisa menjadi refreshing juga
      3. Manajemen Waktu
Semua kesibukan itu bisa kulakuan dengan baik dan tidak berbenturan karena aku mengatur  waktuku dengan baik, membuat schedule yang rapi dan terencana dan tentu saja harus kupatuhi sendiri.
      4.  Mempunyai me time
Terkadang kita jenuh dengan semua aktifitas kita, maka disinilah me time sangat kita perlukan. Kita bisa memanjakan diri kita sejenak dengan melakukan hobby atau kesukaan kita sejenak, tanpa diganggu rutinitas kita sehari-hari bahkan bisa sejenak tidak direpotkan anak. Misalnya dengan memanjakan diri ke salon atau pergi ke perpustakaan dan membaca buku-buku kesukaan kita.

Harus semakin cantik di #usiacantik
Apabila kita bisa melakukan semua hal diatas dengan baik, maka percaya deh hidup kita akan semakin indah. Kita tidak perlu khawatir lagi dengan semakin bertambahnya umur kita dan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuh kita, karena justru kita akan semakin merasa cantik di #usia cantik kita. Yuk selalu semangat untuk bermanfaat bagi sesama!!


Lomba blog ini diselenggarakan oleh BP Network dan disponsori oleh L'Oreal Revitalift Dermalift" 




Read More