LAST MINUTE WORKER

Kamis, 23 Maret 2017



 
Deadline datang padahal setrikaan menumpuk, jadi deehhhh...
Aku menyebut diriku sebagai last minute worker alias deadliner. Maksud last minute worker disini adalah  mengerjakan tugas atau menyelesaikan sesuatu pada menit-menit terakhir menjelang deadline, menjelang batas akhir waktunya. Para mahasiswa dulu juga sering mengatakan SKS atau sistem kebut semalam, tugasnya sudah diberikan beberapa bulan yang lalu, tetapi kita mengerjakannya hanya dalam waktu semalam saja. Walaupun harus gedubrakan terburu-buru karena dikejar waktu, tetapi aku tetap saja melakukannya. Kebiasaan jelekku ini sudah menjadi penyakit yang akut, bahkan kronis, bersemayam pada diriku. Dan sudah kulakukan sejak SD bahkan sampai kini ketika aku sudah beranak pinak menjadi seorang ibu. Penyakitku ini bukannya sembuh malah semakin parah.
Aku ingat pada waktu masih sekolah, baik ketika SD, SMP ataupun SMA, ketika aku mendapat Pekerjaan Rumah, aku akan mengerjakannya pada detik-detik terakhir ketika besok paginya akan dikumpulkan. Begitu mendapat PR itu, aku cuma melihatnya sekilas, lalu aku akan menutupnya bukannya langsung mengerjakan, apalagi kalau aku tidak bisa mengerjakan, semakin malas aku mengerjakannya. Seminggu kemudian, ketika ada pelajaran itu lagi, baru malamnya aku mengerjakannya, tentu saja dengan gedubrakan. Sudah kebal telingaku bila ibuku sibuk mengomel, melihat aku begadang mengerjakan tugas. Beliau pasti akan marah-marah, mengatakan aku tidak pandai membagi waktu, lebih mendahulukan hal-hal yang tidak penting dan lain dan sebagainya. Maafkan aku, Ibu. Ibu tidak tahu, ketika saat-saat terakhir seperti itulah sesungguhnya tiba-tiba otakku menjadi encer dan aku mendapatkan kemudahan mengerjakan semuanya. Yang semula aku tidak memahaminya maka tiba-tiba aku langsung seperti mendapat kemudahan menyelesaikannya. Entahlah, aku sendiri tidak tahu mengapa begitu.
Ketika aku duduk di bangku kuliah, penyakit last minute workerku ini semakin parah saja. Apalagi aku tinggal di tempat kost, tidak ada lagi Ibu yang selalu mengingatkan aku, apakah ada PR apa tidak, apakah sudah mengerjakan tugas apa belum, dan masih banyak lagi. Belum lagi nasehat ibu yang menyuruhku untuk memprioritaskan yang penting dahulu, untuk pandai-pandai membagi waktu dan masih banyak nasehat ibu yang selalu kudengarkan saja tetapi tidak kugubris. Yang ada hanyalah teman sekamarku yang sibuk geleng-geleng kepala melihat aku tidak tidur semalaman mengerjakan tugas yang harus segera dikumpulkan. Padahal sebetulnya tugas itu sudah diberikan sebulan yang lalu, ouw kemana saja akuuu??...

Maka teman kostku sudah tidak heran lagi, bila mendengar suara mesin ketik, pada waktu itu komputer masih menjadi barang mewah, tak tik tuk tak tik tuk menghiasi malam hingga menjelang pagi. Yup, itu pasti aku sedang begadang. Padahal banyak teman sekelasku yang selalu rajin mengingatkan, sudah selesai belum tugasnya? sudah dapat belum referensinya? sudah dikerjakan sampai mana? Seperti biasa aku hanya menenangkan mereka dan mengatakan pasti selesai kalau waktunya dikumpulkan. Aku benar-benar tidak peduli, padahal Benjamin Franklin juga mengatakan  “Don't put off until tomorrow what you can do today.” Yang intinya kita sebaiknya tidak menunda pekerjaan yang bisa diselesaikan hari ini. Tapi tetap saja aku menundanya.

Herannya aku juga selalu bisa mengumpulkan tepat waktu dan mendapatkan nilai yang bagus. Entahlah, ketika saat-saat menjelang deadline, tiba-tiba semua pikiranku terbuka, aku seperti dimudahkan memahami tugas itu dan mengerjakannya dengan lancar. Padahal sudah seminggu aku memikirkannya selalu tidak ada ide dan menemui jalan buntu, tetapi begitu mepet deadline, tiba-tiba saja ada jalan keluar sehingga aku bisa dan selesai mengerjakannya. Beberapa teman mengatakan, aku mengerjakan dengan terburu-buru saja, nilaiku sudah bagus, coba kalau aku mengerjakan jauh-jauh hari sebelumnya pasti aku akan mendapatkan nilai yang lebih sempurna lagi. Mereka tidak tahu, bahwa kalau jauh-jauh hari justru otakku buntu tidak bisa menemukan jawabannya.
Ketika aku kuliah lagi, mengambil program masterku, ternyata penyakitku semakin parah saja. Aku tetap mengerjakan semua tugasku pada saat menjelang deadline dan tentu saja dengan gedubrakan. Padahal aku sudah berumah tangga dan anakku sudah empat hehehe... Aku lupa bahwa banyak hal yang tidak terduga bisa saja terjadi. Apalagi aku sudah berumah tangga. Tetapi bagaimana lagi, aku memang tidak bisa mengerjakan bila belum mendekati waktunya dikumpulkan.
Suatu saat aku pernah mendapat tugas disuruh mencari contoh folktale dan lalu menganalisanya. Tugas itu diberi waktu satu bulan. Selama sebulan aku browsing-browsing dan membaca-baca banyak literatur, tetapi aku tetap tidak juga bisa mengerjakan tugasku. Eh begitu besoknya mau dikumpulkan, ide cemerlang itu langsung datang. Sayangnya tiba-tiba anakku sakit panas. Aku benar-benar kebingungan. Padahal besok hari terakhir mengumpulkan, dan aku harus merawat anakku. Akhirnya dengan terpaksa aku mengerjakannya sambil menggendong anakku, berdiri di depan meja, dengan satu tangan mengetik di laptop, dan tangan satunya menggendong anakku.  Suamiku sampai terheran-heran, koq masih saja aku menunda-nunda pekerjaan, kan jadi susah kalau ada yang sakit atau ada masalah lain. Suamiku, seperti ibuku dulu, juga tidak tahu bahwa ideku baru datang kalau sudah menjelang waktunya deadline.  Memang seringkali aku tidak pernah punya ide mau menulis apa, tetapi begitu malam menjelang deadline langsung ide itu bermunculan. Dan lancar sekali pula aku menuliskannya. Entahlah mengapa demikian..
Kalau sudah deadline, terpaksa menulis dimana saja...

Yang merugikan lagi, aku jadi sering ketinggalan event-event lomba menulis yang penting. Aku memang rajin mengikuti lomba menulis. Tetapi ya begitu deh, aku akan mengerjakannya begitu mepet deadline. Jadi ketika tiba-tiba ada sesuatu masalah terjadi, akhirnya dengan terpaksa aku batal mengikuti event itu. Tak jarang, aku baru mengerjakan satu jam sebelum deadline, kalau tiba-tiba komputer ngadat, jaringan lemot, bisa ditebak aku pasti gagal mengikuti event itu.
Ada teman yang sering mengatakan padaku, bagaimana aku bisa mewujudkan impianku menjadi penulis terkenal bila aku hanya mau menulis bila mood datang saja? Seharusnya sebagai seorang penulis profesional, setiap hari aku harus menulis. Sebaiknya aku meluangkan waktu untuk menulis entah setengah jam atau satu jam agar menulis itu bisa menjadi kebiasaan yang terus kulakukan. Apa yang dikatakan temanku ini memang betul, tetapi kenapa sulit sekali aku melakukannya? 
Kebiasaan jelekku menjadi last minute worker ini memang bisa disebabkan karena aku kurang bisa membagi waktu dengan baik, mungkin manajemen waktuku yang harus diatur ulang sehingga aku tidak perlu menunda-nunda waktu ketika mengerjakan sesuatu. Padahal aku juga sudah mengetahui bahwa waktu adalah pedang, kalau aku tidak bisa mengaturnya dengan baik, maka tentu akan membahayakan diriku sendiri . Imam Syafi'i Rahaimahullah pernah berkata:

الْوَقْتُ كَالسَيْفِ اِنْ لَمْ تَقْطَعهُ قَطَعَكَ
"Waktu itu bagaikan pedang, jikalau kamu tidak bisa menggunakan pedang itu, maka pedang itu sendiri yang akan menghunusmu."

Jadi kita harus bisa mengatur waktu yang kita miliki. Berapa banyak pekerjaan kita, dan berapa besar waktu yang kita punya harus kita atur sebaik-baiknya, agar semua tanggungjawab bisa terpenuhi dan terlaksana.
Hasan Al Banna mengatakan pula bahwa, ”Alwaajibatu Aktsaru minal Auqoot.” Kewajiban yang dibebankan kepada kita itu lebih banyak daripada waktu yang kita miliki. Ketika kita menunda menyelesaikan suatu perkara, itu berarti kita sedang menumpuk-numpuk kewajiban. Semakin kita sering menunda waktu maka semakin banyak timbunan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sehingga apabila kita menunda berarti kita hidup dalam tumpukan-tumpukan kewajiban untuk diselesaikan dalam waktu yang lebih sedikit.
Jadi ingat sabda Rasulullah yang berkaitan dengan pentingnya mempersegerakan suatu urusan “Bersegeralah melakukan perbuatan baik, karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap.” (HR. Muslim). ” Juga Ibnu umar yang mengatakan “Bila engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi, dan bila engkau di pagi hari, maka janganlah menunggu datangnya sore.” Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu. Kurang apalagi coba, begitu banyak peringatan itu, tetapi masih susah bagiku untuk menghilangkan kebiasaan buruk ini huhuhu...
Aku jadi teringat lagu RAIHAN, sebuah kelompok nasyid, yang berjudul Demi Masa, yang liriknya sebagai berikut :
Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sehat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati
Maka dari semua penjelasanku diatas, ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil dan harus kujadikan tekad agar aku tidak lagi menjadi last minut worker:
1.      Jangan menunda-nunda pekerjaan
2.      Jangan membuang waktu percuma
3.      Aturlah jadwalmu dan patuhilah
4.      Buatlah skala prioritas mana yang harus didahulukan mengerjakannya
5.      Usahakan fokus ketika mengerjakan sesuatu hal sehingga kita memahaminya dan bisa menyelesaikannya dengan baik, tidak perlu menunggu mood datang.
Semoga semua pengalaman yang sudah kuceritakan itu, bisa menjadikanku introspeksi dan menjadikan ke depannya lebih baik lagi. Aku tahu bila ingin menjadi penulis yang hebat, aku harus siap menulis kapan saja, tidak perlu menunggu waktu deadline atau menunggu mood datang. Selamat tinggal deadliner, good bye last minute worker. Semoga tekadku dan azzamku yang kuat ini, bisa mengubah kebiasaan jelekku ini...




Read More

ABADILAH GURU YANG MENULIS

Jumat, 17 Februari 2017

Yang fana adalah waktu,
Kita abadi,
Memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga, sampai pada suatu hari.
kita lupa, untuk apa..
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" Tanyamu
KIta abadi
(Sapardi Djoko Damono)


Karyaku akan abadi walaupun aku telah tiada

Helvy Tiana Rosa mengatakan bahwa nama kita tidak akan mati bahkan bila kita mati. Apa maksud kalimat itu? Bagaimana mungkin kita abadi, sedangkan kita adalah makhluk yang fana? Kita tentu tahu JRR Tolkien? Yup, beliau adalah pencipta novel Lord of The Rings. Novelnya kemudian difilmkan oleh Peter Jackson. Sudah sejak tahun 1971 beliau meninggal, tetapi begitu novelnya muncul sebagai film, orang pasti akan mengingatnya kembali dan mengenangnya kembali. Ada lagi Theodor Geisel atau Dr. Seuss, penulis dan kartunis dari Amerika yang meninggal pada tahun 1991 juga Charles M schulz kartunis terkenal pencipta snoopy yang meninggal tahun 2000an. Mereka semua sudah meninggal tetapi karyanya tentu masih dibaca orang sampai sekarang.
Demikian juga para pujangga Indonesia seperti Marah Rusli dengan Siti Nurbayanya, Tulis Sutan Sati dengan Sengsara Membawa Nikmat, Sutan Takdir Alisyahbana dengan Layar Terkembang, Abdul Muis dengan Salah Asuhan, HAMKA dengan Di Bawah Lindungan Ka’bah dan masih banyak lagi. Mereka semua sudah tiada tetapi karya-karyanya masih tetap dibaca dan dinikmati banyak orang. Jasad mereka boleh jadi sudah berkalang tanah, tetapi karya mereka, nama mereka tetap abadi, dikenang orang.
Jadi itulah maksud tulisan Helvy Tiana Rosa diatas, bahwa bila kelak kita sudah tiada, maka tulisan kita tetap hidup, tetap ada untuk dibaca. Seolah-olah hal itu menjadikan kita abadi, tetap ada tidak pernah mati. Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat saya, meninggal dunia, saya sering bolak balik melihat facebooknya juga blognya. Saya baca-baca statusnya, saya membaca lagi tulisannya di blog, saya tahu sahabatku ini sudah meninggal, tetapi karyanya, tulisannya masih akan selalu dibaca dan diingat orang. Sejak itulah saya selalu memaksa diri untuk menulis. Bagaimana mungkin cita-cita saya menjadi penulis terkenal bisa terwujudkan, bila saya  tak juga mulai menulis? Maka benarlah kata Imam Al Ghozali, jika kamu bukan anak raja dan bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis. Dengan menjadi penulis, maka kita bisa dikenal dan dikenang orang. Kita akan abadi.
Memang sulit memaksa diri untuk menulis setiap hari. Sebaiknya kita mempunyai jadwal tertentu untuk menulis, dan kita harus belajar mematuhinya. Menurut JK Rowling mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kita ketahui, atau tentang pengalaman dan perasaan kita sendiri. Jadilah itu yang saya lakukan, hanya menulis hal-hal yang saya tahu dan saya rasakan. Tidak perlu hal-hal yang sulit. Tentu mudah bagi guru bahasa Inggris seperti saya menulis tentang bagaimana mengajar bahasa Inggris. Saya tinggal mengingat-ingat apa saja yang saya lakukan ketika mengajar kemudian saya tuliskan. Mungkin saya bisa  juga browsing tentang bagaimana orang lain mengajar bahasa Inggris.  Kemudian menambahkannya ke dalam tulisan saya, sehingga tulisan saya akan lebih berwarna.  Beda ceritanya kalau saya disuruh menulis tentang bagaimana cara terbang ke Planet Venus. Tentu akan sulit bagi saya, karena selain memang belum pernah pergi sendiri ke Planet Venus, mencari referensi atau sumber beritanya pun akan sangat sulit. Jadi memang lebih mudah menuliskan hal-hal yang kita ketahui dan kita kuasai saja.
Tere Liye dalam suatu seminar menulis mengatakan,  Alah bisa karena biasa. Demikian juga dengan menulis, kalau kita terbiasa menulis, akan mudah bagi kita untuk menuangkan ide dan gagasan kita ke dalam tulisan. Pernahkah kita melihat seorang ibu memasak membawa penggaris untuk mengukur tempe atau sayuran agar irisan panjangnya sama? Tentu tidak pernah bukan? Tetapi bagaimana tempe dan sayuran yang dipotong bisa kelihatan sama panjangnya, padahal tidak menggunakan penggaris atau alat ukur lainnya? Itulah dahsyatnya suatu kebiasaan. Karena kita terbiasa memotong sayuran, maka lama-lama potongan kita akan sempurna dan tampak sama panjangnya. Karena kita terbiasa memasak, maka lama-lama masakan kita akan menjadi lezat. Begitu pula jika kita menulis, semakin sering menulis, semakin rajin menuangkan gagasan kita, maka lama-lama tulisan kita akan mengalir dan menjadi enak dibaca. Apabila banyak orang yang menyukai tulisan kita, tentu pada akhirnya tulisan kita akan menjadi best seller dan kita bisa menjadi penulis yang mumpuni dan terkenal.

Sesuai dengan permendikbud Nomor 23 tahun 2015 dan sebagai lanjutan dari Gerakan Literasi Nasional, maka sesungguhnya guru tidaklah bisa dipisahkan dari menulis. Karena kehidupan seorang guru memang tidak akan pernah lepas dari kata menulis. Guru harus menyiapkan bahan ajarnya, menyiapkan skenario rencana pengajarannya, membuat penelitian tindakan kelas, menulis untuk pengembangan profesinya, untuk menambah angka kreditnya, dan masih banyak lagi. Sebagai seorang guru, tentu diharapkan tulisan kita adalah tulisan yang bermanfaat. Yang  bisa membawa perubahan, membawa kebaikan bagi sesama. Diharapkan tulisan kita bisa berguna  bagi orang lain, memberitahu tanpa bermaksud menggurui, menyampaikan kebenaran tanpa disadari bagi yang membacanya. Bukankah itu membuat kita bercahaya di ahirat kelak? Karena itu akan menjadi ladang amal jariyah kita?
Pramodeya Ananta Toer mengatakan juga bahwa orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Maka ayolah menulis mulai sekarang, tunggu apalagi? Biarpun kita sudah tiada, maka karya kita akan tetap abadi. Yuk, menjadi guru yang abadi!






Read More