Sepeda berkeranjang itu sudah ada di tempat biasanya. Aku bergegas, berjingkat
memasuki ruang pengajian. Dugaanku benar, pasti sudah dimulai. Senyum manis
mbak Emy menyambutku. Sambil menjabat tanganku, Mbak Emy bertanya,” Nangdi sik? Koq telat?”senyumnya tak
lepas dari wajahnya.
“Biasa, Arul rewel mbak, minta beli
es krim ” Aku memang tidak mungkin mengantar anakku pulang dulu, karena jarak
rumah kami yang jauh. Jadi aku selalu mengajak Arul ke tempatku mengaji.
“Kesel
arek iku, ngantuk paling” kata mbak Emy sambil meraih tangan Arul dan
mengajaknya duduk disampingnya. “Bu Emy bisa bikin kodok, Arul mau tak buatkan?”
“Kodok? Katak?” Tanya Arul.
“Iyaaa katak, Arul mau katak?”
“Bisa lompat?” Arul tampak antusias.
“Yaa.... bisalah ” Jawab mbak Emy, tersenyum.
Aku masih menyiapkan buku catatan
pengajianku. Kulirik dengan ekor mataku, mbak Emy sibuk menyobek kertas, lalu
melipatnya, sret... sret... sret... dengan cekatan. Arul tak berkedip menatap
tangan mbak Emy yang sibuk melipat-lipat kertas menjadi sebuah katak. Dan tak
sampai dua menit, jadilah katak yang bisa melompat-lompat. Arul memekik
kegirangan, “Mau lagi Ammah, mau tiga!! Tiga katak, Ammah!”
“Sstttt.... Arul yang pintar, ibu sedang
ngaji, nggak boleh berisik, udah satu aja, nanti lagi, ayo sana main diluar”
Aku tarik Arul agar menjauh.
“Wis
jarno ben seneng” Mbak Emy dengan cekatan membuatkan dua katak lagi dan
mengangsurkannya ke Arul. Arul tertawa senang dan membawa kataknya keluar. Arul
sibuk bermain di luar sampai pengajianku selesai. Mbak Emy memang sering menyelamatkan
acara ngajiku, sehingga anakku gak pernah rewel dan asyik bermain sendiri.
Kadang dia membagikan permen, kadang membiarkan pulpennya dipinjam dan masih
banyak lagi. “Jarno, pokoke areke meneng”
begitu selalu jawabnya dan tentu sambil
tersenyum.
Tapi Jum’at ini berbeda dengan
Jumat- Jumat biasanya. Tidak ada lagi sepeda berkeranjang itu terparkir di
tempat pengajianku. Basah mataku mengingat semuanya. Tidak ada lagi senyum manis
dan sapa ramah Mbak Emy. Beliau sudah meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Allah
memanggilnya tanggal 21 Agustus 2016 kemarin.
Begitu cepat. Aku sangat kehilangannya. Aku tahu ini pasti yang terbaik,
aku juga tidak tega bila harus melihat mbak Emy mengerang menahan sakit setiap
serangan penyakitnya itu datang. Tetapi aku benar-benar kehilangannya.
Dokter mengatakan Mbak Emy menderita
kanker otak stadium 4. Bulan Ramadhan kemarin dokter menyarankan untuk operasi,
tetapi karena resiko paska operasi yang demikian besar, keluarganya memutuskan
untuk tidak dioperasi saja. Seperti kita ketahui, melakukan operasi di otak
ibarat mengambil jarum di dalam tahu, tidak mungkin tahu itu tetap utuh ketika
kita mengeluarkan jarumnya. Ada syaraf lain yang beresiko terganggu seperti
kelumpuhan atau kebutaan dll. Tetapi karena rasa sakit yang sudah tak
tertahankan, maka pertengahan Agustus kemarin mbak Emy setuju untuk dioperasi.
Sayangnya tindakan operasi belum sempat dilakukan, Allah lebih dahulu
memanggilnya.
Mbak Emy adalah sosok sederhana dan taat beribadah. Sudah beberapa tahun ini kami mengaji bersama. Setiap kali pergi ke tempat mengaji, mbak Emy
selalu menaiki sepeda sendiri. Mengayuhnya di siang bolong karena pengajian itu
dimulai pukul 14.00. Bisa dibayangkan betapa panas dan capeknya, apalagi jarak
tempat mengaji dan rumahnya lumayan jauh, mungkin ada sekitar 4 kilometer.
Hebatnya lagi mbak Emy selalu datang paling awal. Kami yang ke pengajian naik
motor aja selalu kalah cepat kalau datang, bahkan teman yang rumahnya disamping
tempat pengajianku pun masih sering kalah on time dengan mbak Emy.
Tapi mbak Emy nggak pernah marah, rasa
maklumnya sangat tinggi meihat kami yang selalu datang terlambat.Mbak Emy berpikir anak kami yang masih kecil-kecil itu yang membuat kami ribet untuk datang tepat waktu. Padahal kami saja yang kurang pandai mengatur waktu. Mbak Emy juga rajin tilawah, tiap awal Ramadhan ketika kami masih terbata-bata menyelesaikan satu jus kami, mbak Emy sudah tilawah sembilan jus. Dua hari sudah sembilan jus, saudara-saudara!! Bayangkan rajinnya!! Kalau aku memujinya, mbak Emy selalu mengelak dengan mengatakan bahwa dia di rumah saja sedangkan kami semua bekerja jadi waktu tilawah pasti terbatas. Padahal sebetulnya kami saja yang kurang bisa membagi waktu huhuhu...
Mbak Emy juga rajin sekali mengikuti majelis ilmu, baik yang diadakan di Masjid Namira, di Masjid Sunan Derajat maupun di Sukodadi. Aku cuma tersenyum kecut kalau mbak Emy sharing tentang ibroh yang dia dapatkan di setiap tempat pengajian itu. Aku selalu sok sibuk tidak bisa datang. Lagi-lagi itu cuma alasanku saja karena tidak pandai-pandai mengatur waktu. Kuakui, semangat beribadah mbak Emy memang tiada duanya.
Hari ini tepat dua minggu Mbak Emy meninggalkan kami. Takkan aku jumpai lagi sepeda berkeranjang itu di tempat pengajianku. Tetapi walaupun begitu, semangat ibadah mbak Emy akan tetap menginspirasiku. Mbak Emy sayang, doa-doa terbaik terkirim untukmu. Semoga lapang kuburmu dan Allah menerima semua amal ibadahmu, Ammiinn... Terima kasih mbak Emy sudah selalu ada untukku. I will miss you...
pictures taken from anawalls.com and ruqayyah27.blogspot.com