Aku belum juga bisa mencintai IKIPku, padahal sudah berbulan-bulan aku
belajar disana. Bayangan akan sebuah kampus yang bagus dan keren,
seperti yang kulihat di PTN di Jakarta dan Bandung sama sekali tak bisa
kujumpai di kampusku ini. Ruangan kuliah yang biasa-biasa aja,
lingkungan yang nyaris kumuh, membuat semangat belajarku menguap entah
kemana. Hanya cas cis cus dosen-dosennya yang membuat aku bertahan dan
masih semangat untuk berangkat kuliah setiap pagi. Yah, aku memilih IKIP
sebagai tempatku kuliah bukan karena aku ingin menjadi guru, tetapi
lebih karena aku menyukai bahasa Inggrisnya.
Dari keluarga besarku,
hanya ada satu dua yang menjadi guru, itupun saudara jauh. Jadi kuliah
di IKIP bukanlah rekomendasi dari orang tuaku. Ketika memilihnya pun tak
ada yang tahu. Aku hanya menjawab kotanya bila ditanya memilih apa.
Ketakutanku akan kegagalan menembus ujian masuk perguruan tinggi,
membuatku memilih jurusan Kependidikan. Aku tidak mau gagal yang kedua
kali, setelah di kesempatan pertama aku tak bisa menembus jurusan
kedokteran seperti keinginan orang tuaku.
Ketika
akhirnya aku diterima di pilihan pertamaku di IKIP. Tak sedikit
pandangan aneh dan heran, koq mau-maunya aku menjadi guru. Apa yang bisa
kuharapkan dari profesi itu? Orang tuaku yang kulihat sedikit kecewa,
tak bisa berbuat apa-apa. Aku yang memilih dan akan menjalaninya, mereka
menyerahkan sepenuhnya kepada keputusanku. Tak tahukah mereka, bahkan
akupun sebetulnya enggan untuk belajar di IKIP. Tapi tentu aku harus
konsekuen dengan pilihanku. Akhirnya jadilah aku mahasiswi IKIP, mencoba
mencintai dan menikmatinya walaupun sulit sekali.
Hingga pada suatu
kesempatan, aku ditawari teman kostku untuk ikut mengajar di sebuah
pabrik besar. Temanku itu mendapat tugas mengajar para karyawan pabrik
yang masih buta huruf. Apa serunya mengajar karyawan yang sudah tua
seperti itu? Aku yang memang tidak suka mengajar benar-benar
terheran-heran, tetapi karena memang sedang tidak ada kegiatan, maka aku
mengiyakan saja, hitung-hitung buat nambah pengalamanlah pikirku.
Aku sudah terlambat ketika sampai di Pabrik itu. Kelas sudah dimulai,
karena takut mengganggu konsentrasi mereka, aku hanya mengintip dari
luar. Ternyata pemandangan yang kulihat sangat menyesakkan dadaku. Kulihat temanku sedang membimbing seorang ibu
mengeja huruf. Terbata-bata ibu itu mengeja sebuah kata. Susah sekali
tampaknya dia menyebut huruf apa yang ada di papan tulis itu. Kupandang
ibu itu, umurnya sekitar tiga puluh limaan. Dandanannya khas ibu-ibu
karyawan pabrik, sedikit menor dan gaul. Tapi ternyata membaca saja dia
tak mampu. Kalau lihat perawakannya, sepertinya beliau sudah berputera.
Lalu bagaimana dia mengajari anaknya, jika dia membaca saja tidak bisa?
Miris hatiku melihatnya. Ingatanku melayang ketika mengajari adik-adikku
membaca. Bapak dan Ibuku juga pasti ikut turun tangan membantu,
sehingga ketika masuk SD semua anaknya sudah pandai membaca. Tapi apa
yang terjadi dengan ibu-ibu ini? Untung Pabrik ini punya program yang
sangat bagus membantu karyawannya supaya melek huruf. Kalau tidak,
apakah sampai renta mereka tak akan bisa membaca? Di jaman globalisasi
seperti ini? Alangkah malangnya!
Hari itu aku mendapat pelajaran berharga, tentang semangat belajar dan pengorbanan. Ketika kemudian temanku mengatakan aku pandai bahasa Inggris, ibu-ibu itu antusias
sekali memintaku mengajari mereka, padahal huruf saja mereka belum
hafal. Sedangkan dalam bahasa Inggris, tulisan dan pengucapannya saja
berbeda. Akhirnya aku ajarkan angka saja, cuma satu sampai sepuluh. Tapi
mereka girang bukan kepalang. Ada yang menetes dingin di dadaku setiap
melihat binar bahagia di mata mereka yang semangat mendengarkan
penjelasanku.
Malamnya, aku nyaris tak bisa memejamkan mata. Rasaku
dipenuhi haru biru, pikiranku melayang mengembara memikirkan
murid-murid baruku. Sesore itu aku di telfon muridku, hampir semuanya
menelepon. Mereka kebanyakan minta aku memberi tambahan jam lagi khusus
bahasa Inggris. Bahkan mereka bersedia datang ke tempat kostku. Mereka
tidak ingin kalah dengan anak-anak mereka yang sudah mengerti bahasa
inggris. Bahkan ada yang anaknya ikut meneleponku, mengatakan terima
kasih mamanya bisa berhitung dalam bahasa inggris. Aku tersanjung.
Sangat tersanjung. Aku cuma mengajari angka saja, tapi mereka
sebegitunya menganggap aku seperti pahlawan yang sangat berjasa.
Bagaimana kalau besok aku berhasil mengajari mereka bercakap-cakap dalam
bahasa Inggris??
Akhirnya kuakui semuanya kepada Allah bahwa ternyata
aku mulai jatuh cinta dengan mengajar. Aku berdoa dan memohon kepadaNya,
semoga inilah langkah awalku bisa mencintai IKIPku dan sepenuh-penuhnya
belajar untuk menjadi guru.
Hari-hari kemudian terasa begitu
indahnya. Aku mulai mencintai mengajar mereka. Aku selalu tak sabar
menanti waktuku bertemu ibu-ibu, menemani mereka terpatah-patah mengeja
kata, dengan sabar menanti mereka mengingat hurufnya, tak jarang juga
harus merayu agar si ibu berani mengucapkannya walaupun salah. Dan
bertepuk tangan ceria bila mereka sanggup membacanya dengan benar. Kalau
hari libur, aku mengajak mereka berjalan-jalan, bisa ke mall atau ke
pasar. Dan mereka kuberi tugas membaca apa saja yang mereka jumpai di
jalan. Kadang kita harus berhenti agak lama di tepi jalan menunggu
seorang ibu yang tak juga selesai membaca sebuah spanduk. Atau kadang
sambil duduk-duduk di taman kota, terpingkal-pingkal membaca setiap tulisan di
mobil yang lewat, mobilnya keburu lari, tapi tulisannya belum kebaca. Juga ketika sedang naik mobil dan menunggu lampu merah, aku menyuruh mereka dengan
cepat mencari satu tulisan lalu membacanya keras-keras. Kadang-kadang
ketika lampu sudah hijau dan si ibu belum selesai mengeja, kami tertawa
tergelak-gelak, belum lagi yang dibaca ternyata bahasa Inggris, sama
sekali nggak bisa dipahami hehehe..
Sekali waktu kami makan di restaurant, lalu
menyuruh mereka memesan dengan membaca daftar menu, yang salah membaca
tidak boleh makan. Maka yang berhasil membaca akan sibuk menggoda yang
tidak makan. Ujung-ujungnya yang tidak makan akan merayu waitressnya
supaya membantu mengeja dan bisa membacanya didepanku, sehingga boleh
mendapatkan makanannya hehehe...
Aku juga selalu membawakan buku-buku bacaan
atau novel – novel buat mereka, untuk meningkatkan minat
bacanya. Buku itu ada yang mereka bawa pulang dan meminta anak mereka
membacakannya. Ketika tahu ceritanya bagus, mereka menyuruhku membaca di
depan kelas agar semua tahu isinya. Akibatnya, jika ternyata ceritanya
sad ending, kami bisa menangis sesenggukan bersama-sama.
Sayangnya
program itu harus dihentikan, selain karena ibu-ibu itu sudah mulai
mahir membaca, juga karena perusahaan itu mempunyai program baru yang
sasarannya dialihkan. Program itu tidak sampai setahun memang, tapi
kemajuan mereka sangat pesat. Aku dan temanku sangat bersyukur bisa
menjadi bagian dari mereka. Semua kenangan itu menjadi memori yang
sangat indah dalam perjalanan hidupku.
Setelah selesai mengajar
disitu, aku mulai melamar untuk mengajar di sekolah-sekolah formal. Aku
mencari sekolah yang masuk sore, karena paginya aku harus kuliah.
Kembali kutemukan keindahan mengajar di setiap tempatku membagi ilmuku.
Aku selalu mencintai murid-muridku dan menemukan semangat keajaiban
dimana guru begitu amat sangat mereka butuhkan. Aku memutuskan mengikuti
beasiswa TID (Tunjangan Ikatan Dinas) dimana aku akan langsung diangkat
menjadi guru PNS begitu lulus kuliah. Gaji guru yang kecil, penempatan
yang mungkin bisa di luar pulau Jawa, tak menyurutkan langkahku. Karena
aku tahu, mengajar sudah menjadi nafasku.
Kini sudah lima belas tahun lebih aku menjadi guru bahasa Inggris. Aku ditempatkan di SMP negeri di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Aku
sangat bersyukur atas segala karuniaNya. Karena kini aku bisa menjadi
bagian dari mereka yang tak pernah lelah mencerdaskan kehidupan bangsa. I will put my heart on teaching forever!!
Bersama Mahasiswi PPL UNISLA |
English Fun |
The Champions of English Contest |
Team Penari di acara English Day |
Team Penari Peraih Juara Tingkat Nasional |
Usai Upacara Hardiknas |
Guru dan Murid sama-sama narsis |
Ande- Ande Jomblo in action |