Teaching is Wonderful

Minggu, 23 Juni 2013

Kupandangi SK CPNSku itu, Allah, dimana Lamongan? Aku belum pernah sekalipun menjejakkan kakiku di situ! Jauhkah? dekatkah? Nyamankah? Suburkah? Indahkah? Bertubi-tubi pertanyaan itu muncul di benakku. Tapi ini surat tugas yang kutunggu-tunggu selama hampir dua tahun. Ya belum tentu setiap orang bernasib baik seperti aku, mendapatkan beasiswa ikatan dinas. Begitu lulus aku langsung diangkat menjadi pegawai negeri, tanpa tes dan tentu tanpa uang pelicinlah.
Kubulatkan tekadku, bangkitlah Dew, pulau juang sudah menunggumu! Kemana hilangnya semangatku kemarin? Bahwa bumi Allah itu dimana-mana sama? Kemana hilangnya idealisku bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa itu bisa dimana saja? Hanya gara-gara kota tempatku bertugas harus di Lamongan? Mungkin lain ceritanya bila disitu tertulis Jakarta atau Surabaya atau Malang atau setidaknya Madiunlah, kota yang sudah aku kenal sebelumnya? Tapi disini tertulis Lamongan? Negeri antah berantah mana pula ini?
“Bersihkan niatmu, sayang! Ayo kita beli Peta di gramedia, biar besok nggak tersesat mencari sekolah barumu!” tiba-tiba suamiku memelukku dari belakang. Ya pasti suamiku merasakan kegalauanku sejak tadi. Karena tak dilihatnya senyumku sama sekali usai menerima SK itu.
Keesokan harinya berbekal peta yang kubeli di toko buku itu, aku berangkat menuju pulau juangku, Lamongan, I am coming! Setelah berputar-putar mencari, akhirnya kutemukan juga sekolahku, sekolah yang benar-benar “mewah” di tengah sawah, dengan fasilitas nyaris seadanya dan sedikit kumuh, lalat yang berterbangan menyambutku, juga murid-murid desa yang dekil dan berseragam sederhana yang kujumpai keberadaannya. Terbayang sekolahku di kota tempatku mengajar sebelumnya yang berkeramik rapi, full AC, murid-murid yang cantik dan ganteng yang bersih dan rapi, fasilitas yang lengkap. Oh My God, bisakah aku menjalani hari-hariku disini?

Dua belas tahun kemudian, di sekolah yang sama…..
“Doakan kami bisa mencapai cita-cita kami ya Bu?”
“Kami pasti akan merindukan Bu Dewi!”
“Terima kasih atas semua jasa Ibu telah membimbing kami”
"Saya masih boleh kan main pinjam bukunya, Bu?" I will Miss you, Mom!"
 Air mataku meleleh memeluk satu persatu muridku, mereka akan meninggalkan sekolah kami karena sudah dinyatakan lulus Ujian Nasional. Sudah dua belas tahun aku mengajar di sekolah ini. Tekad yang kuat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa membuatku semangat dan menikmati mengajarku. Life is wonderful bila kita bisa menikmati dan mengisinya dengan kegiatan yang indah dan menyenangkan. Kurangnya fasilitas dan kesederhanaan yang ada tak pernah menyurutkan niatku untuk terus berkarya mendidik para generasi muda bangsa.




.
Read More

I ALWAYS PUT MY HEART INTO TEACHING

              Aku belum juga bisa mencintai IKIPku, padahal sudah berbulan-bulan aku belajar disana. Bayangan akan sebuah kampus yang bagus dan keren, seperti yang kulihat di PTN di Jakarta dan Bandung sama sekali tak bisa kujumpai di kampusku ini. Ruangan kuliah yang biasa-biasa aja, lingkungan yang nyaris kumuh, membuat semangat belajarku menguap entah kemana. Hanya cas cis cus dosen-dosennya yang membuat aku bertahan dan masih semangat untuk berangkat kuliah setiap pagi. Yah, aku memilih IKIP sebagai tempatku kuliah bukan karena aku ingin menjadi guru, tetapi lebih karena aku menyukai bahasa Inggrisnya.
               Dari keluarga besarku, hanya ada satu dua yang menjadi guru, itupun saudara jauh. Jadi kuliah di IKIP bukanlah rekomendasi dari orang tuaku. Ketika memilihnya pun tak ada yang tahu. Aku hanya menjawab kotanya bila ditanya memilih apa. Ketakutanku akan kegagalan menembus ujian masuk perguruan tinggi, membuatku memilih jurusan Kependidikan. Aku tidak mau gagal yang kedua kali, setelah di kesempatan pertama aku tak bisa menembus jurusan kedokteran seperti keinginan orang tuaku.
               Ketika akhirnya aku diterima di pilihan pertamaku di IKIP. Tak sedikit pandangan aneh dan heran, koq mau-maunya aku menjadi guru. Apa yang bisa kuharapkan dari profesi itu? Orang tuaku yang kulihat sedikit kecewa, tak bisa berbuat apa-apa. Aku yang memilih dan akan menjalaninya, mereka menyerahkan sepenuhnya kepada keputusanku. Tak tahukah mereka, bahkan akupun sebetulnya enggan untuk belajar di IKIP. Tapi tentu aku harus konsekuen dengan pilihanku. Akhirnya jadilah aku mahasiswi IKIP, mencoba mencintai dan menikmatinya walaupun sulit sekali.
               Hingga pada suatu kesempatan, aku ditawari teman kostku untuk ikut mengajar di sebuah pabrik besar. Temanku itu mendapat tugas mengajar para karyawan pabrik yang masih buta huruf. Apa serunya mengajar karyawan yang sudah tua seperti itu? Aku yang memang tidak suka mengajar benar-benar terheran-heran, tetapi karena memang sedang tidak ada kegiatan, maka aku mengiyakan saja, hitung-hitung buat nambah pengalamanlah pikirku.
                  Aku sudah terlambat ketika sampai di Pabrik itu. Kelas sudah dimulai, karena takut mengganggu konsentrasi mereka, aku hanya mengintip dari luar. Ternyata pemandangan yang kulihat sangat menyesakkan dadaku. Kulihat temanku sedang membimbing seorang ibu mengeja huruf. Terbata-bata ibu itu mengeja sebuah kata. Susah sekali tampaknya dia menyebut huruf apa yang ada di papan tulis itu. Kupandang ibu itu, umurnya sekitar tiga puluh limaan. Dandanannya khas ibu-ibu karyawan pabrik, sedikit menor dan gaul. Tapi ternyata membaca saja dia tak mampu. Kalau lihat perawakannya, sepertinya beliau sudah berputera. Lalu bagaimana dia mengajari anaknya, jika dia membaca saja tidak bisa? Miris hatiku melihatnya. Ingatanku melayang ketika mengajari adik-adikku membaca. Bapak dan Ibuku juga pasti ikut turun tangan membantu, sehingga ketika masuk SD semua anaknya sudah pandai membaca. Tapi apa yang terjadi dengan ibu-ibu ini? Untung Pabrik ini punya program yang sangat bagus membantu karyawannya supaya melek huruf. Kalau tidak, apakah sampai renta mereka tak akan bisa membaca? Di jaman globalisasi seperti ini? Alangkah malangnya!
                      Hari itu aku mendapat pelajaran berharga, tentang semangat belajar dan pengorbanan. Ketika kemudian temanku mengatakan aku pandai bahasa Inggris, ibu-ibu itu antusias sekali memintaku mengajari mereka, padahal huruf saja mereka belum hafal. Sedangkan dalam bahasa Inggris, tulisan dan pengucapannya saja berbeda. Akhirnya aku ajarkan angka saja, cuma satu sampai sepuluh. Tapi mereka girang bukan kepalang. Ada yang menetes dingin di dadaku setiap melihat binar bahagia di mata mereka yang semangat mendengarkan penjelasanku.
                  Malamnya, aku nyaris tak bisa memejamkan mata. Rasaku dipenuhi haru biru, pikiranku melayang mengembara memikirkan murid-murid baruku. Sesore itu aku di telfon muridku, hampir semuanya menelepon. Mereka kebanyakan minta aku memberi tambahan jam lagi khusus bahasa Inggris. Bahkan mereka bersedia datang ke tempat kostku. Mereka tidak ingin kalah dengan anak-anak mereka yang sudah mengerti bahasa inggris. Bahkan ada yang anaknya ikut meneleponku, mengatakan terima kasih mamanya bisa berhitung dalam bahasa inggris. Aku tersanjung. Sangat tersanjung. Aku cuma mengajari angka saja, tapi mereka sebegitunya menganggap aku seperti pahlawan yang sangat berjasa. Bagaimana kalau besok aku berhasil mengajari mereka bercakap-cakap dalam bahasa Inggris??
Akhirnya kuakui semuanya kepada Allah bahwa ternyata aku mulai jatuh cinta dengan mengajar. Aku berdoa dan memohon kepadaNya, semoga inilah langkah awalku bisa mencintai IKIPku dan sepenuh-penuhnya belajar untuk menjadi guru.
                     Hari-hari kemudian terasa begitu indahnya. Aku mulai mencintai mengajar mereka. Aku selalu tak sabar menanti waktuku bertemu ibu-ibu, menemani mereka terpatah-patah mengeja kata, dengan sabar menanti mereka mengingat hurufnya, tak jarang juga harus merayu agar si ibu berani mengucapkannya walaupun salah. Dan bertepuk tangan ceria bila mereka sanggup membacanya dengan benar. Kalau hari libur, aku mengajak mereka berjalan-jalan, bisa ke mall atau ke pasar. Dan mereka kuberi tugas membaca apa saja yang mereka jumpai di jalan. Kadang kita harus berhenti agak lama di tepi jalan menunggu seorang ibu yang tak juga selesai membaca sebuah spanduk. Atau kadang sambil duduk-duduk di taman kota, terpingkal-pingkal membaca setiap tulisan di mobil yang lewat, mobilnya keburu lari, tapi tulisannya belum kebaca. Juga ketika sedang naik mobil dan menunggu lampu merah, aku menyuruh mereka dengan cepat mencari satu tulisan lalu membacanya keras-keras. Kadang-kadang ketika lampu sudah hijau dan si ibu belum selesai mengeja, kami tertawa tergelak-gelak, belum lagi yang dibaca ternyata bahasa Inggris, sama sekali nggak bisa dipahami hehehe..
                   Sekali waktu kami makan di restaurant, lalu menyuruh mereka memesan dengan membaca daftar menu, yang salah membaca tidak boleh makan. Maka yang berhasil membaca akan sibuk menggoda yang tidak makan. Ujung-ujungnya yang tidak makan akan merayu waitressnya supaya membantu mengeja dan bisa membacanya didepanku, sehingga boleh mendapatkan makanannya hehehe...
             Aku juga selalu membawakan buku-buku bacaan atau novel – novel  buat mereka, untuk meningkatkan minat bacanya. Buku itu ada yang mereka bawa pulang dan meminta anak mereka membacakannya. Ketika tahu ceritanya bagus, mereka menyuruhku membaca di depan kelas agar semua tahu isinya. Akibatnya, jika ternyata ceritanya sad ending, kami bisa menangis sesenggukan bersama-sama.
                    Sayangnya program itu harus dihentikan, selain karena ibu-ibu itu sudah mulai mahir membaca, juga karena perusahaan itu mempunyai program baru yang sasarannya dialihkan. Program itu tidak sampai setahun memang, tapi kemajuan mereka sangat pesat. Aku dan temanku sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari mereka. Semua kenangan itu menjadi memori yang sangat indah dalam perjalanan hidupku.
                     Setelah selesai mengajar disitu, aku mulai melamar untuk mengajar di sekolah-sekolah formal. Aku mencari sekolah yang masuk sore, karena paginya aku harus kuliah. Kembali kutemukan keindahan mengajar di setiap tempatku membagi ilmuku. Aku selalu mencintai murid-muridku dan menemukan semangat keajaiban dimana guru begitu amat sangat mereka butuhkan. Aku memutuskan mengikuti beasiswa TID (Tunjangan Ikatan Dinas) dimana aku akan langsung diangkat menjadi guru PNS begitu lulus kuliah. Gaji guru yang kecil, penempatan yang mungkin bisa di luar pulau Jawa, tak menyurutkan langkahku. Karena aku tahu, mengajar sudah menjadi nafasku.
                      Kini sudah lima belas tahun lebih aku menjadi guru bahasa Inggris. Aku ditempatkan di SMP negeri di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Aku sangat bersyukur atas segala karuniaNya. Karena kini aku bisa menjadi bagian dari mereka yang tak pernah lelah mencerdaskan kehidupan bangsa. I will put my heart on teaching forever!!
Bersama Mahasiswi PPL UNISLA


English Fun

The Champions of English Contest

Team Penari di acara English Day

Team Penari Peraih Juara Tingkat Nasional

Usai Upacara Hardiknas

Guru dan Murid sama-sama narsis

Ande- Ande Jomblo in action

Read More