IMPIANKU MENJADI GURU YANG PROFESSOR

Senin, 24 Juni 2013


             Waktu masih menunjukkan pukul 03.00 pagi, tapi aku sudah gedubrakan di dapur, kompor sudah menyala dari tadi, dan mesin cuci juga sudah mulai menggulung. Aku harus selesai memasak dan mencuci sebelum meninggalkan rumah. Tidak tega bila aku tidak membantu pekerjaan rumah sama sekali, pembantuku cuma satu, tentu dia akan lelah sekali mengurus keempat anakku.
            “Bangun, Mas!” Kuusap lembut wajah anakku dengan air, dinginnya air akan membuatnya cepat terjaga. “Ibu berangkat dulu ya?” Bisikku padanya takut membuat adik-adiknya terbangun.
            “Iyaaa…” Jawabnya setengah mengantuk. “Ati-ati ya Bu! Jangan ngebut!”
            “Beres” Kataku sambil mengusap kepalanya “Yang pinter ya di rumah, jaga adik-adik nanti sore ibu pulang, Oke?”
            Anakku menganggukkan kepalanya sambil mengantarku keluar rumah. Aku bergegas menuju stasiun, ketinggalan kereta itu berarti terlambat masuk kuliah.
            Pukul 05.30 aku sudah duduk manis di dalam kereta. Hari ini Alhamdulillah aku mendapatkan tempat duduk, karena tak jarang aku harus upacara berdiri sepanjang perjalanan. Dari stasiun kotaku menuju kampus membutuhkan waktu 1,5 jam. Lumayan aku bisa tidur sebentar, supaya di kelas tidak mengantuk karena bangun kepagian.
            Sudah satu tahun aku menjalani kehidupan yang aneh ini. Meninggalkan keempat anakku hanya dengan pembantu, karena ayahnya juga dinas di luar kota. Aku mendapatkan beasiswa untuk mengambil program pasca sarjana. Kini aku sudah memasuki semester ke tiga. Masih satu tahun lagi perjuanganku untuk mendapatkan gelar master.
            Aku tahu banyak pengorbanan yang harus kulalui untuk mendapatkan impianku ini. Aku harus meninggalkan keempat anakku, berangkat pagi dan baru pulang menjelang malam. Duhai, apakah yang sebetulnya aku cari? Aku tidak ingin menjadi ibu durhaka yang meninggalkan anak-anakku di tangan pembantu. Membiarkan mereka menjalani hari-harinya tanpa keberadaanku disampingnya. Itulah mengapa aku selalu berusaha pulang setiap hari, dua atau tiga jam bertemu mereka itu sudah sangat berharga bagiku. Lumayan bisa membantu sulungku mengerjakan PR, membacakan cerita buat si bungsu atau sekedar bernyanyi dan berhaha hihi mendengar cerita dua cantikku.
            Awalnya aku iseng saja mengikuti beasiswa itu, tetapi ternyata aku diterima. Tidak menyangka Allah menjawab doaku  selama ini. Doa yang selalu kupanjatkan disetiap usai sholat bahwa aku ingin melanjutkan kuliahku. Walaupun sepertinya mustahil dengan anak yang masih kecil-kecil dan aku mengajar serta tinggal di pelosok desa pula. Tetapi Allah memberi jawaban dengan caraNya sendiri. Aku bisa ikut kuliah di sebuah universitas ternama di ibukota propinsi, walaupun dengan resiko harus pulang pergi setiap hari dan meninggalkan anak-anakku.
            Aku adalah seorang guru bahasa Inggris di sebuah SMP di desa kecil di Jawa Timur. Sebagai seorang guru maka aku selalu ingin bisa mengajar dengan baik, menyampaikan ilmu yang kumiliki dengan semangat dan menjadikan murid-muridku sebagai generasi penerus bangsa yang bisa dibanggakan. Untuk bisa mengajar dengan baik, maka aku juga harus mempunyai bekal yang cukup. Itulah mengapa aku selalu ingin melanjutkan sekolah lagi agar ilmuku bertambah, agar cukup bekal yang kuberikan kepada anak didikku.
            
Mejeng di depan kampusku
          Setahun lagi aku akan lulus dan mendapatkan program masterku. Aku berencana melanjutkan kuliahku dengan mengambil program doctor dan lalu berusaha keras untuk mendapatkan gelar professor. Jika saat ini kita banyak menjumpai professor yang mengajar di universitas, maka sesungguhnya aku ingin menjadi professor yang tetap mengajar di desa. Apa jadinya generasi muda yang tinggal di desa yang hanya selalu diajar oleh guru-guru dengan ilmu yang pas-pas an saja? Aku ingin mereka juga mendapatkan ilmu dari sang maha guru. Kenapa hanya mereka yang di kota besar saja yang mendapatkan ilmu yang bagus dan fasilitas yang cukup? Kenapa murid-murid di desa selalu di nomorduakan? Padahal mereka sama-sama generasi penerus bangsa yang mempunyai hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan.
            Itulah mengapa aku selalu bermimpi menjadi professor tetapi tetap menjadi seorang guru yang mengajar di desa. Cita-citaku yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, selalu mendorongku untuk mencari ilmu setinggi langit sebagai bekalku mengajar dan menyampaikan ilmuku. Aku tidak ingin anak-anak yang di desa hanya mendapatkan bekal ilmu apa adanya, diajar oleh mereka-mereka yang tidak kompeten dalam bidangnya, karena kurangnya SDM yang ada. Aku ingin murid-muridku mendapatkan ilmu dari mereka yang benar-benar menguasai ilmunya dan memahami bagaimana mencerdaskan bangsa dengan sebenar-benarnya.
            Entah berapa tahun lagi impianku menjadi professor bisa terwujud, aku tidak pernah menghitungnya. Tetapi di dalam hatiku selalu ada tekad untuk menjadi guru yang terbaik buat murid-muridku.
            “Bangun, bu! Sudah sampai Stasiun!” Seseorang yang duduk disampingku membangunkanku. Aku tersenyum membereskan tasku. Langkah kakiku ringan menuju kampus. Semoga Allah memudahkan jalanku mencari ilmu. Amin.
Teman kuliahku, ibu-ibu yang semangat belajar lagi.

Namanya juga beasiswa, tasnya pun dapat pembagian dan tentu saja kembar!






Read More

KETIKA MENJADI PEMENANG BUKAN LAGI IMPIAN



Aku seorang guru di desa, yang berjarak tiga belas kilometer dari kota kabupaten. Tidak begitu jauh sebetulnya, bisa ditempuh dengan dua puluh menit naik mobil atau setengah jam dengan sepeda motor. Jalan yang menghubungkan juga sudah lumayan, sebetulnya beraspal tetapi tidak rapi, karena berlubang disana sini.  Yang menjadi kendala adalah angkutannya. Tidak ada angkot atau mobil angkutan umum, yang ada hanya ojek, itupun mahal sekali. Aku juga bukan warga di desa sini, aku cuma pendatang. Aku mengajar di sekolah ini pun karena diangkat menjadi pegawai negeri. Ketika kuliah aku mendapatkan beasiswa ikatan dinas, jadi ketika lulus aku langsung diangkat di sekolah ini.
Pertama, aku datang, aku sempat kaget melihat keadaaan sekolahku. Sekolahku benar –benar kumuh, mencerminkan sosok sekolah di desa ala kadarnya. Aku yang sebelum diangkat sudah mengajar di sebuah sekolah yayasan terkenal di kota besar, yang kelasnya bagus, berlantai keramik dan full AC, benar-benar shock harus mengajar di sekolah di desa seperti ini. Tapi untunglah semangat mengajar dan idealisme untuk mencerdaskan kehidupan bangsa selalu berkobar di dalam dada. Jadi keterbatasan dan apa adanya sekolahku membuatku tetap bersemangat
Ketika tiba saatnya mengajar, kulihat muridku cukup lumayan juga. Mampu menerima penjelasanku dengan baik. Maklum aku guru bahasa Inggris, bukan pelajaran yang mudah buat mereka yang tinggal di desa, bukan? Tetapi ternyata mereka menyimak dengan baik, mengerjakan dengan rajin, walaupun masih banyak salah disana-sini. Entah karena gaya mengajarku yang enak, atau karena aku guru baru yang membuat mereka punya semangat belajar baru, tidak begitu kupikirkan. Yang penting pelajaranku bisa diterima mereka, dan aku bisa menyampaikan ilmuku, itu sudah cukup bagiku.
Seiring jalannya waktu, aku mulai menikmati mengajarku. Rasa jengah karena ruang kelas yang kumuh, banyak lalat karena dekat peternakan ayam, anak-anak yang kucel, fasilitas yang minim, sudah bisa kuatasi. Selalu kutekankan dalam hatiku, inilah ladang jihadku, tempatku menyampaikan ilmu, tempatku bertanggung jawab menjadikan mereka anak-anak bangsa yang berguna bagi agama dan negara. Maka kuhilangkan semua ketidaknyamanan diri, kuganti dengan semangat yang bertubi-tubi.
Seperti juga sekolah lain di kabupaten ini, maka setiap sekolah selalu wajib mengikuti lomba yang diadakan di Kabupaten.  Aku pernah berkesempatan mengantar muridku bertanding lomba. Surat pemberitahuan yang mendadak, jarang melatih lomba pidato bahasa Inggris, tidak begitu mengenal bakat muridku, membuat aku sempat kebingungan untuk mengikuti lomba itu. Tetapi kebanyakan teman-teman guru mengatakan agar aku berangkat saja mengantar muridku. Karena semua itu hanya untuk memenuhi syarat, untuk menggugurkan kewajiban, pokoknya sekolahku bisa mengirimkan peserta, itu sudah cukup. Olala, tentu bisa ditebak dengan mudah, muridku kalah dalam perlombaan itu.
Pengalaman itu membuka wawasanku, aku bertanya kepada guru-guru lain apakah sekolahku pernah memenangkan lomba-lomba yang diadakan di kabupaten. Beberapa mengatakan pernah tapi jarang sekali. Mungkin hanya untuk satu atau dua kali saja. Itupun karena memang anaknya pintar. Tiba-tiba timbul hasrat untuk memajukan sekolahku ini. Tapi tentu aku harus didukung oleh teman-teman yang lain. Aku pun mulai meyusun rencanaku. Aku ingat-ingat, dulu aku juga bersekolah di desa, tetapi sekolahku selalu menang. Karena ada bimbingan khusus bagi anak-anak yang pandai.
 Alhamdulillah beberapa teman sependapat denganku dan Kepala sekolahku yang kebetulan baru diangkat di sekolahku juga sangat mendukung rencana kami. Apalagi ketika itu, tanpa dinyana team tari sekolah yang dikirim mewakili Kabupaten memenangkan festival tari se-Provinsi dan akan dikirim ke Pusat untuk mewakili Provinsi. Itu menjadi letupan kecil pembangkit semangat kami. Nama sekolah kami mulai dikenal orang. Kami berjanji tidak hanya tari, tetapi di semua bidang studi kami akan unjuk gigi. Walaupun kami tinggal di desa, kami tidak mau kalah dengan mereka yang ada di kota.
Satu keuntungan lagi, muridku adalah anak-anak desa, yang notabene masih lugu, belum banyak  godaan seperti anak-anak di kota, yang senang main handphone, game Online, Play Station, mejeng-mejeng di mall, dan lain-lain. Mereka pastinya lebih mudah diarahkan dan dibimbing. Aku tahu muridku hanya kurang motivasi, kurang daya saing. Kalau murid- murid di kota lihatlah, mereka selalu termotivasi untuk ikut les di guru mereka atau di bimbingan belajar ternama di kota-kota. Lain dengan muridku, yang sebagian besar anak buruh tani, boro-boro buat les, buat makan saja susah. Dan lagi belum tentu mereka nanti setelah lulus bisa melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Maka cukuplah bisa naik kelas, tidak perlu muluk-muluk jadi juara kelas apalagi juara di Kabupaten. Untuk ini, aku selalu memberi wawasan dan meningkatkan motivasi mereka.
Setelah optimis dengan murid-muridku, kini tinggal menguatkan tekad dengan teman-temanku guru yang lain. Bersediakah mereka meluangkan waktu, membimbing murid-murid? Memberi les tambahan diluar jam mengajar? Alhamdulillah, walaupun dengan imbalan seadanya, ternyata teman-temanku sangat mendukungku. Aku senang dan bangga. Aku lihat teman-temanku juga lulusan universitas ternama di Negara ini, yang pastinya sangat kompeten di bidangnya masing-masing dan pasti mampu memberikan yang terbaik kepada murid-murid kami.
Keputusan Kepala sekolah untuk mendirikan kelas unggulan juga sangat membantu program ini berjalan lancar. Obsesi menjadikan sekolah kami terkenal dan menjadi sang jawara sudah semakin di depan mata. Dengan adanya kelas unggulan, memudahkan kami membimbing anak-anak yang memang sudah pilihan. Kelas unggulan kami sebut dengan kelas bilingual, karena kami berusaha menyampaikan materi dalam dua bahasa. Sebagai guru bahasa Inggris tentu saja aku seperti punya beban moral. Berani-beraninya mendirikan kelas bilingual, apa kelebihannya? Bagaimana SDMnya? Seperti apa murid-muridnya? Semua itu sangat mengusik hatiku. Karena itu sedikit  demi sedikit kemajuan kearah itu selalu kuupayakan. Dari mulai  memanggil dosen dari luar untuk memberi les bahasa Inggris kepada para guru, mengadakan English day di sekolah, mendatangkan native speaker, mengadakan kegiatan outbond berlabel English Fun, menampilkan drama bahasa Inggris, dan banyak lagi. Demi pertanggungjawaban kepada masyarakat akan nilai lebih kelas bilingualku. Kami juga mengadakan studi banding ke sekolah-sekolah RSBI, untuk mencuri ilmu tentang program yang mereka terapkan.
Untuk lebih meningkatkan wawasan para guru, aku juga menyebarkan virus membaca di sekolahku. Aku membawa buku-buku bacaan buat mereka, dan mereka bisa meminjamnya gratis.  Kepada murid-muridku di kelas bilingual, berlaku full day school, dimana mereka bersekolah sampai sore. Mereka harus menerima pelajaran tambahan  lebih dibanding kelas yang lain. Untuk pelajaran bahasa Inggris, aku memberikan les tambahan, selain pelajaran di kelas, juga di laboratorium bahasa.  Ada juga kelas persiapan untuk lomba  story telling dan speech contest. Juga mengirim murid-muridku dan Guru-guru bidang studi IPA dan Matematika untuk mengikuti kursus bahasa Inggris di sebuah tempat kursus terkenal.
Semua persiapan itu juga diiringi dengan upaya mengikuti semua lomba yang diadakan di Kabupaten maupun di Provinsi. Lomba dimana saja kami datangi, menang atau kalah urusan belakang, yang penting kami menguji nyali. Melatih murid-murid agar terbiasa berlomba, menyiapkan mental mereka untuk siap bersaing. 
Tetapi tidak seindah yang dibayangkan, ketika berkali-kali kami gagal, mulai terdengar kasak kusuk umpatan dari teman-teman kami sendiri. Ada yang mengira kami mendirikan sekolah tandingan karena kami nyaris hanya mengurusi kelas bilingual saja, ada yang mulai mengolok-olok, dituduh cuma menghabiskan uang sekolah saja, percuma dibayar buat membina tapi yang dibina tidak pernah menang. Aku cuma tersenyum saja sambil mengelus dada. Sekali waktu, aku klarifikasi, tapi lain waktu aku diamkan saja. Yang berkata begitu pasti tidak pernah tahu susahnya membina anak, apalagi pelajaran bahasa Inggris seperti itu. Membuat anak terampil berpidato, story telling, bermain drama, dalam bahasa Inggris pula. Pasti tidak pernah mereka rasakan, sulitnya membuat naskah pidato, skenario naskah drama, yang semuanya dalam bahasa Inggris, yang sering membuatku lembur tidak tidur. Belum lagi melatih mereka menjadi seperti artis dalam sekejap saja. Maka biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Belum lagi masalah dana, bukankah mengirim lomba-lomba juga perlu dana? Mobilnya? Makannya? Akomodasinya lainnya? Kadang-kadang sampai pontang-panting kami mencari pinjaman uang ketika harus memberangkatkan murid-murid dalam suatu perlombaan yang diadakan diluar kota. Wali murid kami juga kebanyakan orang tidak mampu, yang cuma bisa mendoakan anaknya tanpa bisa memberi kontribusi apa-apa. Tetapi sekali lagi, semua itu kami nikmati saja. Bukankah Allah Maha Tahu apa yang diusahakan oleh hambaNya?

 Semua yang ditanam dengan baik, suatu saat pasti akan menghasilkan buah yang baik pula. Sedikit demi sedikit kami peroleh kemenangan itu, mula-mula ditingkat kecamatan, lalu ditingkat Kabupaten. Dan kini sudah sampai di tingkat Provinsi. Nama sekolah kami mulai dikenal dan diperhitungkan. Setiap ada perlombaan dan kami datang, pasti akan membuat musuh kami gentar. Tidak hanya bahasa Inggris yang bisa menjuarai lomba drama, story telling dan speech contest di tingkat Kabupaten, tetapi pelajaran IPA dan Matematika tidak mau kalah juga. Bahkan ketika ada Olimpiade Science Nasional, perwakilan kabupaten, diborong semua oleh murid-muridku. Tidak hanya itu, kejuaran di bidang tari, bidang olah raga, mulai atletik sampai futsal, pidato Bahasa Jawa, Qiroah bidang agama, Astronomi, IPS,  semua pernah diraih sekolah kami.

Sampai saat ini kami tak pernah berhenti berjuang untuk mempertahankan semua gelar juara itu. Kedepannya kami mempunyai target untuk bisa menjadi Jawara Internasional. Sekarang ini kami sudah mulai mengadakan kerja sama dengan pihak-pihak Internasional untuk mewujudkan impian kami itu. Kendala tentu saja tetap ada. Tetapi kami hadapi dengan bijaksana. Kami cukup puas akhirnya sekolah kami bisa dikenal karena prestasi-prestasinya, walaupun kami hanyalah sekolah di desa. Para orang tua murid juga mulai mempercayai kami, berbondong-bondong menyekolahkan anaknya di sekolah kami, tidak perlu jauh-jauh ke kota lagi. Maka, pergilah ke Lamongan, dan tanyalah tentang SMP Negeri 1 Kembangbahu?  Semua orang pasti tahu dan akan menjawab dengan bangga, disana ada murid-murid hebat yang siap membawa nama baik Lamongan, bahkan Jawa Timur ke tingkat Internasional. Allahumma Amin.


Read More

Teaching is Wonderful

Minggu, 23 Juni 2013

Kupandangi SK CPNSku itu, Allah, dimana Lamongan? Aku belum pernah sekalipun menjejakkan kakiku di situ! Jauhkah? dekatkah? Nyamankah? Suburkah? Indahkah? Bertubi-tubi pertanyaan itu muncul di benakku. Tapi ini surat tugas yang kutunggu-tunggu selama hampir dua tahun. Ya belum tentu setiap orang bernasib baik seperti aku, mendapatkan beasiswa ikatan dinas. Begitu lulus aku langsung diangkat menjadi pegawai negeri, tanpa tes dan tentu tanpa uang pelicinlah.
Kubulatkan tekadku, bangkitlah Dew, pulau juang sudah menunggumu! Kemana hilangnya semangatku kemarin? Bahwa bumi Allah itu dimana-mana sama? Kemana hilangnya idealisku bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa itu bisa dimana saja? Hanya gara-gara kota tempatku bertugas harus di Lamongan? Mungkin lain ceritanya bila disitu tertulis Jakarta atau Surabaya atau Malang atau setidaknya Madiunlah, kota yang sudah aku kenal sebelumnya? Tapi disini tertulis Lamongan? Negeri antah berantah mana pula ini?
“Bersihkan niatmu, sayang! Ayo kita beli Peta di gramedia, biar besok nggak tersesat mencari sekolah barumu!” tiba-tiba suamiku memelukku dari belakang. Ya pasti suamiku merasakan kegalauanku sejak tadi. Karena tak dilihatnya senyumku sama sekali usai menerima SK itu.
Keesokan harinya berbekal peta yang kubeli di toko buku itu, aku berangkat menuju pulau juangku, Lamongan, I am coming! Setelah berputar-putar mencari, akhirnya kutemukan juga sekolahku, sekolah yang benar-benar “mewah” di tengah sawah, dengan fasilitas nyaris seadanya dan sedikit kumuh, lalat yang berterbangan menyambutku, juga murid-murid desa yang dekil dan berseragam sederhana yang kujumpai keberadaannya. Terbayang sekolahku di kota tempatku mengajar sebelumnya yang berkeramik rapi, full AC, murid-murid yang cantik dan ganteng yang bersih dan rapi, fasilitas yang lengkap. Oh My God, bisakah aku menjalani hari-hariku disini?

Dua belas tahun kemudian, di sekolah yang sama…..
“Doakan kami bisa mencapai cita-cita kami ya Bu?”
“Kami pasti akan merindukan Bu Dewi!”
“Terima kasih atas semua jasa Ibu telah membimbing kami”
"Saya masih boleh kan main pinjam bukunya, Bu?" I will Miss you, Mom!"
 Air mataku meleleh memeluk satu persatu muridku, mereka akan meninggalkan sekolah kami karena sudah dinyatakan lulus Ujian Nasional. Sudah dua belas tahun aku mengajar di sekolah ini. Tekad yang kuat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa membuatku semangat dan menikmati mengajarku. Life is wonderful bila kita bisa menikmati dan mengisinya dengan kegiatan yang indah dan menyenangkan. Kurangnya fasilitas dan kesederhanaan yang ada tak pernah menyurutkan niatku untuk terus berkarya mendidik para generasi muda bangsa.




.
Read More

I ALWAYS PUT MY HEART INTO TEACHING

              Aku belum juga bisa mencintai IKIPku, padahal sudah berbulan-bulan aku belajar disana. Bayangan akan sebuah kampus yang bagus dan keren, seperti yang kulihat di PTN di Jakarta dan Bandung sama sekali tak bisa kujumpai di kampusku ini. Ruangan kuliah yang biasa-biasa aja, lingkungan yang nyaris kumuh, membuat semangat belajarku menguap entah kemana. Hanya cas cis cus dosen-dosennya yang membuat aku bertahan dan masih semangat untuk berangkat kuliah setiap pagi. Yah, aku memilih IKIP sebagai tempatku kuliah bukan karena aku ingin menjadi guru, tetapi lebih karena aku menyukai bahasa Inggrisnya.
               Dari keluarga besarku, hanya ada satu dua yang menjadi guru, itupun saudara jauh. Jadi kuliah di IKIP bukanlah rekomendasi dari orang tuaku. Ketika memilihnya pun tak ada yang tahu. Aku hanya menjawab kotanya bila ditanya memilih apa. Ketakutanku akan kegagalan menembus ujian masuk perguruan tinggi, membuatku memilih jurusan Kependidikan. Aku tidak mau gagal yang kedua kali, setelah di kesempatan pertama aku tak bisa menembus jurusan kedokteran seperti keinginan orang tuaku.
               Ketika akhirnya aku diterima di pilihan pertamaku di IKIP. Tak sedikit pandangan aneh dan heran, koq mau-maunya aku menjadi guru. Apa yang bisa kuharapkan dari profesi itu? Orang tuaku yang kulihat sedikit kecewa, tak bisa berbuat apa-apa. Aku yang memilih dan akan menjalaninya, mereka menyerahkan sepenuhnya kepada keputusanku. Tak tahukah mereka, bahkan akupun sebetulnya enggan untuk belajar di IKIP. Tapi tentu aku harus konsekuen dengan pilihanku. Akhirnya jadilah aku mahasiswi IKIP, mencoba mencintai dan menikmatinya walaupun sulit sekali.
               Hingga pada suatu kesempatan, aku ditawari teman kostku untuk ikut mengajar di sebuah pabrik besar. Temanku itu mendapat tugas mengajar para karyawan pabrik yang masih buta huruf. Apa serunya mengajar karyawan yang sudah tua seperti itu? Aku yang memang tidak suka mengajar benar-benar terheran-heran, tetapi karena memang sedang tidak ada kegiatan, maka aku mengiyakan saja, hitung-hitung buat nambah pengalamanlah pikirku.
                  Aku sudah terlambat ketika sampai di Pabrik itu. Kelas sudah dimulai, karena takut mengganggu konsentrasi mereka, aku hanya mengintip dari luar. Ternyata pemandangan yang kulihat sangat menyesakkan dadaku. Kulihat temanku sedang membimbing seorang ibu mengeja huruf. Terbata-bata ibu itu mengeja sebuah kata. Susah sekali tampaknya dia menyebut huruf apa yang ada di papan tulis itu. Kupandang ibu itu, umurnya sekitar tiga puluh limaan. Dandanannya khas ibu-ibu karyawan pabrik, sedikit menor dan gaul. Tapi ternyata membaca saja dia tak mampu. Kalau lihat perawakannya, sepertinya beliau sudah berputera. Lalu bagaimana dia mengajari anaknya, jika dia membaca saja tidak bisa? Miris hatiku melihatnya. Ingatanku melayang ketika mengajari adik-adikku membaca. Bapak dan Ibuku juga pasti ikut turun tangan membantu, sehingga ketika masuk SD semua anaknya sudah pandai membaca. Tapi apa yang terjadi dengan ibu-ibu ini? Untung Pabrik ini punya program yang sangat bagus membantu karyawannya supaya melek huruf. Kalau tidak, apakah sampai renta mereka tak akan bisa membaca? Di jaman globalisasi seperti ini? Alangkah malangnya!
                      Hari itu aku mendapat pelajaran berharga, tentang semangat belajar dan pengorbanan. Ketika kemudian temanku mengatakan aku pandai bahasa Inggris, ibu-ibu itu antusias sekali memintaku mengajari mereka, padahal huruf saja mereka belum hafal. Sedangkan dalam bahasa Inggris, tulisan dan pengucapannya saja berbeda. Akhirnya aku ajarkan angka saja, cuma satu sampai sepuluh. Tapi mereka girang bukan kepalang. Ada yang menetes dingin di dadaku setiap melihat binar bahagia di mata mereka yang semangat mendengarkan penjelasanku.
                  Malamnya, aku nyaris tak bisa memejamkan mata. Rasaku dipenuhi haru biru, pikiranku melayang mengembara memikirkan murid-murid baruku. Sesore itu aku di telfon muridku, hampir semuanya menelepon. Mereka kebanyakan minta aku memberi tambahan jam lagi khusus bahasa Inggris. Bahkan mereka bersedia datang ke tempat kostku. Mereka tidak ingin kalah dengan anak-anak mereka yang sudah mengerti bahasa inggris. Bahkan ada yang anaknya ikut meneleponku, mengatakan terima kasih mamanya bisa berhitung dalam bahasa inggris. Aku tersanjung. Sangat tersanjung. Aku cuma mengajari angka saja, tapi mereka sebegitunya menganggap aku seperti pahlawan yang sangat berjasa. Bagaimana kalau besok aku berhasil mengajari mereka bercakap-cakap dalam bahasa Inggris??
Akhirnya kuakui semuanya kepada Allah bahwa ternyata aku mulai jatuh cinta dengan mengajar. Aku berdoa dan memohon kepadaNya, semoga inilah langkah awalku bisa mencintai IKIPku dan sepenuh-penuhnya belajar untuk menjadi guru.
                     Hari-hari kemudian terasa begitu indahnya. Aku mulai mencintai mengajar mereka. Aku selalu tak sabar menanti waktuku bertemu ibu-ibu, menemani mereka terpatah-patah mengeja kata, dengan sabar menanti mereka mengingat hurufnya, tak jarang juga harus merayu agar si ibu berani mengucapkannya walaupun salah. Dan bertepuk tangan ceria bila mereka sanggup membacanya dengan benar. Kalau hari libur, aku mengajak mereka berjalan-jalan, bisa ke mall atau ke pasar. Dan mereka kuberi tugas membaca apa saja yang mereka jumpai di jalan. Kadang kita harus berhenti agak lama di tepi jalan menunggu seorang ibu yang tak juga selesai membaca sebuah spanduk. Atau kadang sambil duduk-duduk di taman kota, terpingkal-pingkal membaca setiap tulisan di mobil yang lewat, mobilnya keburu lari, tapi tulisannya belum kebaca. Juga ketika sedang naik mobil dan menunggu lampu merah, aku menyuruh mereka dengan cepat mencari satu tulisan lalu membacanya keras-keras. Kadang-kadang ketika lampu sudah hijau dan si ibu belum selesai mengeja, kami tertawa tergelak-gelak, belum lagi yang dibaca ternyata bahasa Inggris, sama sekali nggak bisa dipahami hehehe..
                   Sekali waktu kami makan di restaurant, lalu menyuruh mereka memesan dengan membaca daftar menu, yang salah membaca tidak boleh makan. Maka yang berhasil membaca akan sibuk menggoda yang tidak makan. Ujung-ujungnya yang tidak makan akan merayu waitressnya supaya membantu mengeja dan bisa membacanya didepanku, sehingga boleh mendapatkan makanannya hehehe...
             Aku juga selalu membawakan buku-buku bacaan atau novel – novel  buat mereka, untuk meningkatkan minat bacanya. Buku itu ada yang mereka bawa pulang dan meminta anak mereka membacakannya. Ketika tahu ceritanya bagus, mereka menyuruhku membaca di depan kelas agar semua tahu isinya. Akibatnya, jika ternyata ceritanya sad ending, kami bisa menangis sesenggukan bersama-sama.
                    Sayangnya program itu harus dihentikan, selain karena ibu-ibu itu sudah mulai mahir membaca, juga karena perusahaan itu mempunyai program baru yang sasarannya dialihkan. Program itu tidak sampai setahun memang, tapi kemajuan mereka sangat pesat. Aku dan temanku sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari mereka. Semua kenangan itu menjadi memori yang sangat indah dalam perjalanan hidupku.
                     Setelah selesai mengajar disitu, aku mulai melamar untuk mengajar di sekolah-sekolah formal. Aku mencari sekolah yang masuk sore, karena paginya aku harus kuliah. Kembali kutemukan keindahan mengajar di setiap tempatku membagi ilmuku. Aku selalu mencintai murid-muridku dan menemukan semangat keajaiban dimana guru begitu amat sangat mereka butuhkan. Aku memutuskan mengikuti beasiswa TID (Tunjangan Ikatan Dinas) dimana aku akan langsung diangkat menjadi guru PNS begitu lulus kuliah. Gaji guru yang kecil, penempatan yang mungkin bisa di luar pulau Jawa, tak menyurutkan langkahku. Karena aku tahu, mengajar sudah menjadi nafasku.
                      Kini sudah lima belas tahun lebih aku menjadi guru bahasa Inggris. Aku ditempatkan di SMP negeri di sebuah kota kecil di Jawa Timur. Aku sangat bersyukur atas segala karuniaNya. Karena kini aku bisa menjadi bagian dari mereka yang tak pernah lelah mencerdaskan kehidupan bangsa. I will put my heart on teaching forever!!
Bersama Mahasiswi PPL UNISLA


English Fun

The Champions of English Contest

Team Penari di acara English Day

Team Penari Peraih Juara Tingkat Nasional

Usai Upacara Hardiknas

Guru dan Murid sama-sama narsis

Ande- Ande Jomblo in action

Read More