Siapa yang tak kenal Pidi Baiq dengan DILANnya? Nah. kali ini karya Pidi Baiq kembali menghiasi perfilman di Indonesia dengan judulnya KOBOY KAMPUS.
Film ini bercerita tentang kehidupan kampus Pidi Baiq di Fakultas Seni Rupa ITB di sekitaran tahun 1990an. Pidi yang diperankan oleh Jason Ranti, dan juga teman-teman Pidi seperti Ninuk (Ricky
Harun), Deni (Bisma Karisma), Erwin (David John Schaap) dan Dikdik
(Miqdad Auddasy) ketika itu lebih suka bermain atau ngoboy daripada serius belajar.
Mungkin mahasiswa yang lain mengeluarkan aspirasi mereka dengan
berdemonstrasi atau turun ke
jalan, tetapi Pidi Baiq bersama teman-temannya justru mendirikan negara di dalam kampus yang diberi nama "Negara Kesatuan Republik The Panasdalam atau NKRTPD sebagai salah satu cara mereka mengkritik pemerintah.
Film ini tampil dengan bahasa yang ringan dan unik dan juga penuh humor. Koboy kampus yang mengangkat problematika masa kuliah dan juga warna-warni kisah cinta di kampus, musik soundtracknya adalah lagu-lagu dari The Panasdalam Band itu sendiri.
Film ini juga bertabur bintang-bintang artis ternama seperti : Steffi Zamora, Danilla
Riyadi, Vienny JKT48, Christina Colondom, Anfa Safitri, Chicha Koeswoyo dan
dan Ria Irawan.
Pidi tidak suka dengan
kelakuan mahasiswa yang suka sekali demo. Menurutnya, urusan negara adalah urusan
pemerintah, selain itu demo mahasiswa juga bisa menimbulkan banyak masalah, mulai dari DO atau drop out, melawan pihak kepolisian, dan juga skorsing. sebaliknya Pidi juga kesal dengan situasi sosial dan politik di negara kita, seperti Presiden yang terlalu lama menjabat dan lain-lain. Akhirnya pelampiasannya dengan mendirikan NKRTPD itu walaupun arahnya juga tidak jelas. Mereka menuntut agar pihak kampus mengadakan kegiatan yang seru dan bisa membuat kampus menjadi meriah, seperti usul diadakan penyambutan kepada mahasiswa baru dan lain-lain.
Film yang
disutradarai dan ditulis oleh Pidi Baiq dan Tubagus Deddy ini sepertinya hanya sekuel-sekuel yang penuh kelucuan saja, tidak ada benang merah garis besar apa konfliknya. Bagi para fans Pidi baiq dan the Panasdalam film ini pasti sangat membahagiakan karena filmnya memang benar-benar menggambarkan bagaimana seorang Pidi Baiq yang kocak dan sedikit nyeleneh. Ayo kita nikmati keseruan film koboy kampus di bioskop-bioskop terdekat.
“Ibu Pertiwi sedang
menangis, Ibu Pertiwi sedang bersusah hati!” teriak orator mahasiswa
dengan semangat meluap-luap.
Pidi Baiq (Jason Ranti) hanya menyaksikan kerumunan pendemo itu dari
jauh. Tak lama, Nova (Danilla Riyadi) menghampirinya dan berkelakar.
“Dia teh lebih cinta Ibu Pertiwi daripada saya,” ujarnya dengan logat
Sunda.
Pidi jengkel dengan kelakuan mahasiswa yang doyan demo. Menurutnya,
urusan negara adalah urusan pemerintah, alias Presiden yang sudah
menjabat puluhan tahun itu. Menurut Pidi, aksi demo mahasiswa juga
rentan menimbulkan masalah, mulai dari bersitegang dengan pihak
kepolisian, skorsing dari pihak kampus, hingga drop out (DO). Namun, di
sisi lain, Pidi juga kesal dengan situasi sosial dan politik di
sekitarnya.
Pidi akhirnya mengambil keputusan ekstrem. Bersama teman-temannya, Ninu
(Ricky Harun), Erwin (David John Schaap), Dikdik (Miqdad Addausy), dan
Deni (Bisma Karisma), mereka mendirikan sebuah "negara" baru di salah
satu ruang kuliah kampus ITB: Negara Kesatuan Republik The Panasdalam
atau NKRTPD.
The Panasdalam sendiri merupakan akronim dari: a-THE-is, PA-ganisme,
NAS-rani, Hindu bu-DA, dan is-LAM. Secara filosofis menurut Pidi, semua
orang di The Panasdalam boleh berbeda keyakinan, namun tetap satu dalam
tujuan yang sama.
NKRTPD sendiri adalah ‘negara’ mini dengan luas wilayah 80 meter
persegi. Penduduknya dikisahkan merasa kaya karena selalu melakukan
segala urusan, termasuk jatuh cinta, di luar negeri: Indonesia. Pidi pun
mengangkat dirinya sebagai imam besar The Panasdalam dan menunjuk Deni
sebagai Presidennya.
Negara dalam film Koboy Kampus (2019) ini menimbulkan banyak sekali
pertanyaan. Apa tujuan dibentuknya negara ini? Apakah akan jadi oposisi
pemerintah? Saya berharap banyak hal yang bisa dijajaki dari sini.
Namun, film ini lebih menyoroti tahun-tahun awal The Panasdalam, sebuah
komunitas yang dibentuk untuk merespons kondisi sosial, yang hadir
sebagai pelampiasan rasa kecewa terhadap “Bapak Presiden yang sudah
semestinya berhenti menjabat”, tapi bingung menentukan arah.
Selain menceritakan terbentuknya grup musik The Panasdalam, Koboy Kampus
disebut-sebut sebagai cerita masa kuliah Pidi Baiq bersama
teman-temannya di Fakultas Seni Rupa ITB. “Koboy Kampus” adalah istilah
bagi mahasiswa yang betah berlama-lama di kampus dan menunda kelulusan.
Saat itu mahasiswa memang punya banyak waktu untuk main-main karena masa
kadaluarsa kuliah bisa mencapai 14 semester atau tujuh tahun.
Dari Koboy ke Hippies
Sulit untuk tidak membandingkan spirit anak-anak muda di Koboy Kampus
dengan gerakan budaya tanding (counter culture) yang berkembang di
Amerika Serikat sekitar 1960-an. Kemunculan kelompok yang lantas disebut
hippies ini disebabkan oleh Perang Vietnam, serta kejenuhan terhadap
kondisi sosial, budaya, dan politik yang serba konservatif. Puncaknya,
Summmer of Love terjadi pada 1967 dan ditutup dengan festival Woodstock
dua tahun setelahnya.
Setidaknya itu mitos Amerika 1960-an yang kita ketahui.
Sayangnya terlalu banyak yang tidak kita akrabi dari dekade itu,
termasuk dunia yang berjarak dari keriaan ala hippie. Pada 1962,
sekumpulan mahasiswa berkumpul di Port Huron, Michigan, AS, untuk
mendirikan organisasi bernama Students for Democratic Society (SDS).
Manifestonya yang tersohor, The Port Huron Statement, dibuka dengan
pengakuan betapa generasi mereka dibesarkan oleh kemakmuran Amerika
pasca-Perang Dunia II, dan mereka “menatap gusar dunia yang [mereka]
warisi”.
Bertahun-tahun setelah itu SDS berkembang pesat, dari memotori aksi-aksi
protes anti-perang di jalanan hingga menginterupsi konvensi Partai
Demokrat. Beberapa anggotanya yang paling militan bahkan keluar dari
SDS, menyatakan perang terhadap imperialisme Amerika, rasisme kulit
putih, serta seksisme; dan bersimpati pada negeri-negeri sosialis,
bahkan membom gedung-gedung pemerintahan dan militer Paman Sam. Kelompok
militan yang disebut Weather Underground ini bahkan digolongkan sebagai
kelompok teroris dalam negeri.
Sebagian besarnya mengambil jalan protes damai, turun ke jalan bersama
buruh (yang rawan dikirim ke Vietnam karena tak berstatus mahasiswa) dan
orang-orang kulit hitam (yang diturunkan ke garis depan melawan Vietnam
dan diperlakukan secara rasis ketika pulang ke tanah air), serta
menolak apa yang diramalkan Dwight Eisenhower sebagai kebangkitan
military industrial complex. Dari rahim aktivis inilah lahir orang-orang
seperti Bernie Sanders di AS dan Jeremy Corbyn di Inggris.
Pada tahun-tahun yang sama, Indonesia berbelok ke arah yang berbeda.
Wajar, mahasiswa Indonesia zaman itu sebagian besar berasal dari
golongan elite. Salah satu tokohnya adalah Arief Budiman. Menurut Vedi
Hadiz, Ian Chalmers, dan David Bourchier dalam Indonesian Politics and
Society: A Reader (2003), Arief pernah menyamakan gerakan mahasiswa
dengan tokoh utama sebuah film koboi berjudul Shane (1953).
Shane sang koboi dikisahkan harus turun gunung untuk menghabisi para
penjahat. Setelah suasana kembali tenang, ia pulang ke rumahnya. Ia tak
punya ambisi politik, dan tak haus kekuasaan. Sejak itu muncul mitos
bahwa gerakan mahasiswa Indonesia adalah “gerakan moral” atau “agen
perubahan”.
Namun koboi kampus dalam Koboy Kampus bukan aktivis gerakan moral ala
Angkatan ’66. Mereka adalah spesies yang berbeda dari aktivis-aktivis
semacam itu, tidak berangkat dari alasan gerakan moral atau keinginan
untuk menjadi motor perubahan.
Tokoh-tokoh utama di Koboy Kampus digambarkan tengah mendobrak kejenuhan
kampus dengan mendesak Himpunan Mahasiswa agar kembali mengadakan
penyambutan terhadap mahasiswa baru. Mereka juga memprotes himpunan
karena mengadakan program-program membosankan yang gagal meramaikan
kampus.
Film yang disutradarai dan ditulis oleh Pidi Baiq dan Tubagus Deddy ini
menampilkan pertentangan antara para koboi kampus dan gerakan mahasiswa
arus utama. Para mahasiswa aktivis merasa terganggu dengan kehadiran The
Panasdalam yang emoh turun ke jalan dan ikut aksi. Pertentangan
keduanya dieksekusi dalam bentuk canda, ketika para aktivis tersebut
beberapa kali gagal menemui Pidi dan anggota The Panasdalam lainnya.
Saya melihat Koboy Kampus sebagai ledekan untuk para aktivis mahasiswa
yang duduk di menara gading. Turun ke jalan dengan jaket almamater,
sekaligus menegaskan mereka berbeda dengan banyak elemen yang turun ke
jalan.
Ini cukup berkebalikan dengan situasi di pengujung Orde Baru. Tak banyak
aktivis kampus --terutama yang bergerak di bawah tanah-- yang mau
mengenakan jaket almamater, mengingat jaket peneguh identitas ini
terlalu berbahaya untuk dikenakan. Baru ketika gerakan mahasiswa makin
besar, mereka tak lagi takut mengenakan jaket almamater.
Kelompok The Panasdalam mungkin punya banyak alasan untuk tidak
mengikuti jejak aktivis berjaket almamater ini. Mereka memilih untuk
bersikap politis dengan apolitis. Tapi tentu ada problem dalam pilihan
itu. Bukan pada sikap apolitis yang diambil, tapi pada pemandangan
ketika The Panasdalam memilih kembali menjadi bagian dari Indonesia
ketika Soeharto lengser.
Orang bisa dengan mudah menyematkan label ‘oportunis’ akibat gambaran
ini. Namun pilihan ini sekaligus bisa meneguhkan bahwa The Panasdalam
bukannya anti terhadap Indonesia, melainkan anti pada Soeharto.
Lagi-lagi, mereka menunjukkan cara melawan dengan sikap yang seolah-olah
bercanda.
Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan menarik lainnya
Irma Garnesia
(tirto.id - Film)
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Nuran Wibisono
Baca selengkapnya di artikel "Koboy Kampus: Ketika Mahasiswa Apolitis Menolak Negara",
https://tirto.id/eftc
“Ibu Pertiwi sedang
menangis, Ibu Pertiwi sedang bersusah hati!” teriak orator mahasiswa
dengan semangat meluap-luap.
Pidi Baiq (Jason Ranti) hanya menyaksikan kerumunan pendemo itu dari
jauh. Tak lama, Nova (Danilla Riyadi) menghampirinya dan berkelakar.
“Dia teh lebih cinta Ibu Pertiwi daripada saya,” ujarnya dengan logat
Sunda.
Pidi jengkel dengan kelakuan mahasiswa yang doyan demo. Menurutnya,
urusan negara adalah urusan pemerintah, alias Presiden yang sudah
menjabat puluhan tahun itu. Menurut Pidi, aksi demo mahasiswa juga
rentan menimbulkan masalah, mulai dari bersitegang dengan pihak
kepolisian, skorsing dari pihak kampus, hingga drop out (DO). Namun, di
sisi lain, Pidi juga kesal dengan situasi sosial dan politik di
sekitarnya.
Pidi akhirnya mengambil keputusan ekstrem. Bersama teman-temannya, Ninu
(Ricky Harun), Erwin (David John Schaap), Dikdik (Miqdad Addausy), dan
Deni (Bisma Karisma), mereka mendirikan sebuah "negara" baru di salah
satu ruang kuliah kampus ITB: Negara Kesatuan Republik The Panasdalam
atau NKRTPD.
The Panasdalam sendiri merupakan akronim dari: a-THE-is, PA-ganisme,
NAS-rani, Hindu bu-DA, dan is-LAM. Secara filosofis menurut Pidi, semua
orang di The Panasdalam boleh berbeda keyakinan, namun tetap satu dalam
tujuan yang sama.
NKRTPD sendiri adalah ‘negara’ mini dengan luas wilayah 80 meter
persegi. Penduduknya dikisahkan merasa kaya karena selalu melakukan
segala urusan, termasuk jatuh cinta, di luar negeri: Indonesia. Pidi pun
mengangkat dirinya sebagai imam besar The Panasdalam dan menunjuk Deni
sebagai Presidennya.
Negara dalam film Koboy Kampus (2019) ini menimbulkan banyak sekali
pertanyaan. Apa tujuan dibentuknya negara ini? Apakah akan jadi oposisi
pemerintah? Saya berharap banyak hal yang bisa dijajaki dari sini.
Namun, film ini lebih menyoroti tahun-tahun awal The Panasdalam, sebuah
komunitas yang dibentuk untuk merespons kondisi sosial, yang hadir
sebagai pelampiasan rasa kecewa terhadap “Bapak Presiden yang sudah
semestinya berhenti menjabat”, tapi bingung menentukan arah.
Selain menceritakan terbentuknya grup musik The Panasdalam, Koboy Kampus
disebut-sebut sebagai cerita masa kuliah Pidi Baiq bersama
teman-temannya di Fakultas Seni Rupa ITB. “Koboy Kampus” adalah istilah
bagi mahasiswa yang betah berlama-lama di kampus dan menunda kelulusan.
Saat itu mahasiswa memang punya banyak waktu untuk main-main karena masa
kadaluarsa kuliah bisa mencapai 14 semester atau tujuh tahun.
Dari Koboy ke Hippies
Sulit untuk tidak membandingkan spirit anak-anak muda di Koboy Kampus
dengan gerakan budaya tanding (counter culture) yang berkembang di
Amerika Serikat sekitar 1960-an. Kemunculan kelompok yang lantas disebut
hippies ini disebabkan oleh Perang Vietnam, serta kejenuhan terhadap
kondisi sosial, budaya, dan politik yang serba konservatif. Puncaknya,
Summmer of Love terjadi pada 1967 dan ditutup dengan festival Woodstock
dua tahun setelahnya.
Setidaknya itu mitos Amerika 1960-an yang kita ketahui.
Sayangnya terlalu banyak yang tidak kita akrabi dari dekade itu,
termasuk dunia yang berjarak dari keriaan ala hippie. Pada 1962,
sekumpulan mahasiswa berkumpul di Port Huron, Michigan, AS, untuk
mendirikan organisasi bernama Students for Democratic Society (SDS).
Manifestonya yang tersohor, The Port Huron Statement, dibuka dengan
pengakuan betapa generasi mereka dibesarkan oleh kemakmuran Amerika
pasca-Perang Dunia II, dan mereka “menatap gusar dunia yang [mereka]
warisi”.
Bertahun-tahun setelah itu SDS berkembang pesat, dari memotori aksi-aksi
protes anti-perang di jalanan hingga menginterupsi konvensi Partai
Demokrat. Beberapa anggotanya yang paling militan bahkan keluar dari
SDS, menyatakan perang terhadap imperialisme Amerika, rasisme kulit
putih, serta seksisme; dan bersimpati pada negeri-negeri sosialis,
bahkan membom gedung-gedung pemerintahan dan militer Paman Sam. Kelompok
militan yang disebut Weather Underground ini bahkan digolongkan sebagai
kelompok teroris dalam negeri.
Sebagian besarnya mengambil jalan protes damai, turun ke jalan bersama
buruh (yang rawan dikirim ke Vietnam karena tak berstatus mahasiswa) dan
orang-orang kulit hitam (yang diturunkan ke garis depan melawan Vietnam
dan diperlakukan secara rasis ketika pulang ke tanah air), serta
menolak apa yang diramalkan Dwight Eisenhower sebagai kebangkitan
military industrial complex. Dari rahim aktivis inilah lahir orang-orang
seperti Bernie Sanders di AS dan Jeremy Corbyn di Inggris.
Pada tahun-tahun yang sama, Indonesia berbelok ke arah yang berbeda.
Wajar, mahasiswa Indonesia zaman itu sebagian besar berasal dari
golongan elite. Salah satu tokohnya adalah Arief Budiman. Menurut Vedi
Hadiz, Ian Chalmers, dan David Bourchier dalam Indonesian Politics and
Society: A Reader (2003), Arief pernah menyamakan gerakan mahasiswa
dengan tokoh utama sebuah film koboi berjudul Shane (1953).
Shane sang koboi dikisahkan harus turun gunung untuk menghabisi para
penjahat. Setelah suasana kembali tenang, ia pulang ke rumahnya. Ia tak
punya ambisi politik, dan tak haus kekuasaan. Sejak itu muncul mitos
bahwa gerakan mahasiswa Indonesia adalah “gerakan moral” atau “agen
perubahan”.
Namun koboi kampus dalam Koboy Kampus bukan aktivis gerakan moral ala
Angkatan ’66. Mereka adalah spesies yang berbeda dari aktivis-aktivis
semacam itu, tidak berangkat dari alasan gerakan moral atau keinginan
untuk menjadi motor perubahan.
Tokoh-tokoh utama di Koboy Kampus digambarkan tengah mendobrak kejenuhan
kampus dengan mendesak Himpunan Mahasiswa agar kembali mengadakan
penyambutan terhadap mahasiswa baru. Mereka juga memprotes himpunan
karena mengadakan program-program membosankan yang gagal meramaikan
kampus.
Film yang disutradarai dan ditulis oleh Pidi Baiq dan Tubagus Deddy ini
menampilkan pertentangan antara para koboi kampus dan gerakan mahasiswa
arus utama. Para mahasiswa aktivis merasa terganggu dengan kehadiran The
Panasdalam yang emoh turun ke jalan dan ikut aksi. Pertentangan
keduanya dieksekusi dalam bentuk canda, ketika para aktivis tersebut
beberapa kali gagal menemui Pidi dan anggota The Panasdalam lainnya.
Saya melihat Koboy Kampus sebagai ledekan untuk para aktivis mahasiswa
yang duduk di menara gading. Turun ke jalan dengan jaket almamater,
sekaligus menegaskan mereka berbeda dengan banyak elemen yang turun ke
jalan.
Ini cukup berkebalikan dengan situasi di pengujung Orde Baru. Tak banyak
aktivis kampus --terutama yang bergerak di bawah tanah-- yang mau
mengenakan jaket almamater, mengingat jaket peneguh identitas ini
terlalu berbahaya untuk dikenakan. Baru ketika gerakan mahasiswa makin
besar, mereka tak lagi takut mengenakan jaket almamater.
Kelompok The Panasdalam mungkin punya banyak alasan untuk tidak
mengikuti jejak aktivis berjaket almamater ini. Mereka memilih untuk
bersikap politis dengan apolitis. Tapi tentu ada problem dalam pilihan
itu. Bukan pada sikap apolitis yang diambil, tapi pada pemandangan
ketika The Panasdalam memilih kembali menjadi bagian dari Indonesia
ketika Soeharto lengser.
Orang bisa dengan mudah menyematkan label ‘oportunis’ akibat gambaran
ini. Namun pilihan ini sekaligus bisa meneguhkan bahwa The Panasdalam
bukannya anti terhadap Indonesia, melainkan anti pada Soeharto.
Lagi-lagi, mereka menunjukkan cara melawan dengan sikap yang seolah-olah
bercanda.
Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan menarik lainnya
Irma Garnesia
(tirto.id - Film)
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Nuran Wibisono
Baca selengkapnya di artikel "Koboy Kampus: Ketika Mahasiswa Apolitis Menolak Negara",
https://tirto.id/eftc
“Ibu Pertiwi sedang
menangis, Ibu Pertiwi sedang bersusah hati!” teriak orator mahasiswa
dengan semangat meluap-luap.
Pidi Baiq (Jason Ranti) hanya menyaksikan kerumunan pendemo itu dari
jauh. Tak lama, Nova (Danilla Riyadi) menghampirinya dan berkelakar.
“Dia teh lebih cinta Ibu Pertiwi daripada saya,” ujarnya dengan logat
Sunda.
Pidi jengkel dengan kelakuan mahasiswa yang doyan demo. Menurutnya,
urusan negara adalah urusan pemerintah, alias Presiden yang sudah
menjabat puluhan tahun itu. Menurut Pidi, aksi demo mahasiswa juga
rentan menimbulkan masalah, mulai dari bersitegang dengan pihak
kepolisian, skorsing dari pihak kampus, hingga drop out (DO). Namun, di
sisi lain, Pidi juga kesal dengan situasi sosial dan politik di
sekitarnya.
Pidi akhirnya mengambil keputusan ekstrem. Bersama teman-temannya, Ninu
(Ricky Harun), Erwin (David John Schaap), Dikdik (Miqdad Addausy), dan
Deni (Bisma Karisma), mereka mendirikan sebuah "negara" baru di salah
satu ruang kuliah kampus ITB: Negara Kesatuan Republik The Panasdalam
atau NKRTPD.
The Panasdalam sendiri merupakan akronim dari: a-THE-is, PA-ganisme,
NAS-rani, Hindu bu-DA, dan is-LAM. Secara filosofis menurut Pidi, semua
orang di The Panasdalam boleh berbeda keyakinan, namun tetap satu dalam
tujuan yang sama.
NKRTPD sendiri adalah ‘negara’ mini dengan luas wilayah 80 meter
persegi. Penduduknya dikisahkan merasa kaya karena selalu melakukan
segala urusan, termasuk jatuh cinta, di luar negeri: Indonesia. Pidi pun
mengangkat dirinya sebagai imam besar The Panasdalam dan menunjuk Deni
sebagai Presidennya.
Negara dalam film Koboy Kampus (2019) ini menimbulkan banyak sekali
pertanyaan. Apa tujuan dibentuknya negara ini? Apakah akan jadi oposisi
pemerintah? Saya berharap banyak hal yang bisa dijajaki dari sini.
Namun, film ini lebih menyoroti tahun-tahun awal The Panasdalam, sebuah
komunitas yang dibentuk untuk merespons kondisi sosial, yang hadir
sebagai pelampiasan rasa kecewa terhadap “Bapak Presiden yang sudah
semestinya berhenti menjabat”, tapi bingung menentukan arah.
Selain menceritakan terbentuknya grup musik The Panasdalam, Koboy Kampus
disebut-sebut sebagai cerita masa kuliah Pidi Baiq bersama
teman-temannya di Fakultas Seni Rupa ITB. “Koboy Kampus” adalah istilah
bagi mahasiswa yang betah berlama-lama di kampus dan menunda kelulusan.
Saat itu mahasiswa memang punya banyak waktu untuk main-main karena masa
kadaluarsa kuliah bisa mencapai 14 semester atau tujuh tahun.
Dari Koboy ke Hippies
Sulit untuk tidak membandingkan spirit anak-anak muda di Koboy Kampus
dengan gerakan budaya tanding (counter culture) yang berkembang di
Amerika Serikat sekitar 1960-an. Kemunculan kelompok yang lantas disebut
hippies ini disebabkan oleh Perang Vietnam, serta kejenuhan terhadap
kondisi sosial, budaya, dan politik yang serba konservatif. Puncaknya,
Summmer of Love terjadi pada 1967 dan ditutup dengan festival Woodstock
dua tahun setelahnya.
Setidaknya itu mitos Amerika 1960-an yang kita ketahui.
Sayangnya terlalu banyak yang tidak kita akrabi dari dekade itu,
termasuk dunia yang berjarak dari keriaan ala hippie. Pada 1962,
sekumpulan mahasiswa berkumpul di Port Huron, Michigan, AS, untuk
mendirikan organisasi bernama Students for Democratic Society (SDS).
Manifestonya yang tersohor, The Port Huron Statement, dibuka dengan
pengakuan betapa generasi mereka dibesarkan oleh kemakmuran Amerika
pasca-Perang Dunia II, dan mereka “menatap gusar dunia yang [mereka]
warisi”.
Bertahun-tahun setelah itu SDS berkembang pesat, dari memotori aksi-aksi
protes anti-perang di jalanan hingga menginterupsi konvensi Partai
Demokrat. Beberapa anggotanya yang paling militan bahkan keluar dari
SDS, menyatakan perang terhadap imperialisme Amerika, rasisme kulit
putih, serta seksisme; dan bersimpati pada negeri-negeri sosialis,
bahkan membom gedung-gedung pemerintahan dan militer Paman Sam. Kelompok
militan yang disebut Weather Underground ini bahkan digolongkan sebagai
kelompok teroris dalam negeri.
Sebagian besarnya mengambil jalan protes damai, turun ke jalan bersama
buruh (yang rawan dikirim ke Vietnam karena tak berstatus mahasiswa) dan
orang-orang kulit hitam (yang diturunkan ke garis depan melawan Vietnam
dan diperlakukan secara rasis ketika pulang ke tanah air), serta
menolak apa yang diramalkan Dwight Eisenhower sebagai kebangkitan
military industrial complex. Dari rahim aktivis inilah lahir orang-orang
seperti Bernie Sanders di AS dan Jeremy Corbyn di Inggris.
Pada tahun-tahun yang sama, Indonesia berbelok ke arah yang berbeda.
Wajar, mahasiswa Indonesia zaman itu sebagian besar berasal dari
golongan elite. Salah satu tokohnya adalah Arief Budiman. Menurut Vedi
Hadiz, Ian Chalmers, dan David Bourchier dalam Indonesian Politics and
Society: A Reader (2003), Arief pernah menyamakan gerakan mahasiswa
dengan tokoh utama sebuah film koboi berjudul Shane (1953).
Shane sang koboi dikisahkan harus turun gunung untuk menghabisi para
penjahat. Setelah suasana kembali tenang, ia pulang ke rumahnya. Ia tak
punya ambisi politik, dan tak haus kekuasaan. Sejak itu muncul mitos
bahwa gerakan mahasiswa Indonesia adalah “gerakan moral” atau “agen
perubahan”.
Namun koboi kampus dalam Koboy Kampus bukan aktivis gerakan moral ala
Angkatan ’66. Mereka adalah spesies yang berbeda dari aktivis-aktivis
semacam itu, tidak berangkat dari alasan gerakan moral atau keinginan
untuk menjadi motor perubahan.
Tokoh-tokoh utama di Koboy Kampus digambarkan tengah mendobrak kejenuhan
kampus dengan mendesak Himpunan Mahasiswa agar kembali mengadakan
penyambutan terhadap mahasiswa baru. Mereka juga memprotes himpunan
karena mengadakan program-program membosankan yang gagal meramaikan
kampus.
Film yang disutradarai dan ditulis oleh Pidi Baiq dan Tubagus Deddy ini
menampilkan pertentangan antara para koboi kampus dan gerakan mahasiswa
arus utama. Para mahasiswa aktivis merasa terganggu dengan kehadiran The
Panasdalam yang emoh turun ke jalan dan ikut aksi. Pertentangan
keduanya dieksekusi dalam bentuk canda, ketika para aktivis tersebut
beberapa kali gagal menemui Pidi dan anggota The Panasdalam lainnya.
Saya melihat Koboy Kampus sebagai ledekan untuk para aktivis mahasiswa
yang duduk di menara gading. Turun ke jalan dengan jaket almamater,
sekaligus menegaskan mereka berbeda dengan banyak elemen yang turun ke
jalan.
Ini cukup berkebalikan dengan situasi di pengujung Orde Baru. Tak banyak
aktivis kampus --terutama yang bergerak di bawah tanah-- yang mau
mengenakan jaket almamater, mengingat jaket peneguh identitas ini
terlalu berbahaya untuk dikenakan. Baru ketika gerakan mahasiswa makin
besar, mereka tak lagi takut mengenakan jaket almamater.
Kelompok The Panasdalam mungkin punya banyak alasan untuk tidak
mengikuti jejak aktivis berjaket almamater ini. Mereka memilih untuk
bersikap politis dengan apolitis. Tapi tentu ada problem dalam pilihan
itu. Bukan pada sikap apolitis yang diambil, tapi pada pemandangan
ketika The Panasdalam memilih kembali menjadi bagian dari Indonesia
ketika Soeharto lengser.
Orang bisa dengan mudah menyematkan label ‘oportunis’ akibat gambaran
ini. Namun pilihan ini sekaligus bisa meneguhkan bahwa The Panasdalam
bukannya anti terhadap Indonesia, melainkan anti pada Soeharto.
Lagi-lagi, mereka menunjukkan cara melawan dengan sikap yang seolah-olah
bercanda.
Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan menarik lainnya
Irma Garnesia
(tirto.id - Film)
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Nuran Wibisono
Baca selengkapnya di artikel "Koboy Kampus: Ketika Mahasiswa Apolitis Menolak Negara",
https://tirto.id/eftc
“Ibu Pertiwi sedang
menangis, Ibu Pertiwi sedang bersusah hati!” teriak orator mahasiswa
dengan semangat meluap-luap.
Pidi Baiq (Jason Ranti) hanya menyaksikan kerumunan pendemo itu dari
jauh. Tak lama, Nova (Danilla Riyadi) menghampirinya dan berkelakar.
“Dia teh lebih cinta Ibu Pertiwi daripada saya,” ujarnya dengan logat
Sunda.
Pidi jengkel dengan kelakuan mahasiswa yang doyan demo. Menurutnya,
urusan negara adalah urusan pemerintah, alias Presiden yang sudah
menjabat puluhan tahun itu. Menurut Pidi, aksi demo mahasiswa juga
rentan menimbulkan masalah, mulai dari bersitegang dengan pihak
kepolisian, skorsing dari pihak kampus, hingga drop out (DO). Namun, di
sisi lain, Pidi juga kesal dengan situasi sosial dan politik di
sekitarnya.
Pidi akhirnya mengambil keputusan ekstrem. Bersama teman-temannya, Ninu
(Ricky Harun), Erwin (David John Schaap), Dikdik (Miqdad Addausy), dan
Deni (Bisma Karisma), mereka mendirikan sebuah "negara" baru di salah
satu ruang kuliah kampus ITB: Negara Kesatuan Republik The Panasdalam
atau NKRTPD.
The Panasdalam sendiri merupakan akronim dari: a-THE-is, PA-ganisme,
NAS-rani, Hindu bu-DA, dan is-LAM. Secara filosofis menurut Pidi, semua
orang di The Panasdalam boleh berbeda keyakinan, namun tetap satu dalam
tujuan yang sama.
NKRTPD sendiri adalah ‘negara’ mini dengan luas wilayah 80 meter
persegi. Penduduknya dikisahkan merasa kaya karena selalu melakukan
segala urusan, termasuk jatuh cinta, di luar negeri: Indonesia. Pidi pun
mengangkat dirinya sebagai imam besar The Panasdalam dan menunjuk Deni
sebagai Presidennya.
Negara dalam film Koboy Kampus (2019) ini menimbulkan banyak sekali
pertanyaan. Apa tujuan dibentuknya negara ini? Apakah akan jadi oposisi
pemerintah? Saya berharap banyak hal yang bisa dijajaki dari sini.
Namun, film ini lebih menyoroti tahun-tahun awal The Panasdalam, sebuah
komunitas yang dibentuk untuk merespons kondisi sosial, yang hadir
sebagai pelampiasan rasa kecewa terhadap “Bapak Presiden yang sudah
semestinya berhenti menjabat”, tapi bingung menentukan arah.
Selain menceritakan terbentuknya grup musik The Panasdalam, Koboy Kampus
disebut-sebut sebagai cerita masa kuliah Pidi Baiq bersama
teman-temannya di Fakultas Seni Rupa ITB. “Koboy Kampus” adalah istilah
bagi mahasiswa yang betah berlama-lama di kampus dan menunda kelulusan.
Saat itu mahasiswa memang punya banyak waktu untuk main-main karena masa
kadaluarsa kuliah bisa mencapai 14 semester atau tujuh tahun.
Dari Koboy ke Hippies
Sulit untuk tidak membandingkan spirit anak-anak muda di Koboy Kampus
dengan gerakan budaya tanding (counter culture) yang berkembang di
Amerika Serikat sekitar 1960-an. Kemunculan kelompok yang lantas disebut
hippies ini disebabkan oleh Perang Vietnam, serta kejenuhan terhadap
kondisi sosial, budaya, dan politik yang serba konservatif. Puncaknya,
Summmer of Love terjadi pada 1967 dan ditutup dengan festival Woodstock
dua tahun setelahnya.
Setidaknya itu mitos Amerika 1960-an yang kita ketahui.
Sayangnya terlalu banyak yang tidak kita akrabi dari dekade itu,
termasuk dunia yang berjarak dari keriaan ala hippie. Pada 1962,
sekumpulan mahasiswa berkumpul di Port Huron, Michigan, AS, untuk
mendirikan organisasi bernama Students for Democratic Society (SDS).
Manifestonya yang tersohor, The Port Huron Statement, dibuka dengan
pengakuan betapa generasi mereka dibesarkan oleh kemakmuran Amerika
pasca-Perang Dunia II, dan mereka “menatap gusar dunia yang [mereka]
warisi”.
Bertahun-tahun setelah itu SDS berkembang pesat, dari memotori aksi-aksi
protes anti-perang di jalanan hingga menginterupsi konvensi Partai
Demokrat. Beberapa anggotanya yang paling militan bahkan keluar dari
SDS, menyatakan perang terhadap imperialisme Amerika, rasisme kulit
putih, serta seksisme; dan bersimpati pada negeri-negeri sosialis,
bahkan membom gedung-gedung pemerintahan dan militer Paman Sam. Kelompok
militan yang disebut Weather Underground ini bahkan digolongkan sebagai
kelompok teroris dalam negeri.
Sebagian besarnya mengambil jalan protes damai, turun ke jalan bersama
buruh (yang rawan dikirim ke Vietnam karena tak berstatus mahasiswa) dan
orang-orang kulit hitam (yang diturunkan ke garis depan melawan Vietnam
dan diperlakukan secara rasis ketika pulang ke tanah air), serta
menolak apa yang diramalkan Dwight Eisenhower sebagai kebangkitan
military industrial complex. Dari rahim aktivis inilah lahir orang-orang
seperti Bernie Sanders di AS dan Jeremy Corbyn di Inggris.
Pada tahun-tahun yang sama, Indonesia berbelok ke arah yang berbeda.
Wajar, mahasiswa Indonesia zaman itu sebagian besar berasal dari
golongan elite. Salah satu tokohnya adalah Arief Budiman. Menurut Vedi
Hadiz, Ian Chalmers, dan David Bourchier dalam Indonesian Politics and
Society: A Reader (2003), Arief pernah menyamakan gerakan mahasiswa
dengan tokoh utama sebuah film koboi berjudul Shane (1953).
Shane sang koboi dikisahkan harus turun gunung untuk menghabisi para
penjahat. Setelah suasana kembali tenang, ia pulang ke rumahnya. Ia tak
punya ambisi politik, dan tak haus kekuasaan. Sejak itu muncul mitos
bahwa gerakan mahasiswa Indonesia adalah “gerakan moral” atau “agen
perubahan”.
Namun koboi kampus dalam Koboy Kampus bukan aktivis gerakan moral ala
Angkatan ’66. Mereka adalah spesies yang berbeda dari aktivis-aktivis
semacam itu, tidak berangkat dari alasan gerakan moral atau keinginan
untuk menjadi motor perubahan.
Tokoh-tokoh utama di Koboy Kampus digambarkan tengah mendobrak kejenuhan
kampus dengan mendesak Himpunan Mahasiswa agar kembali mengadakan
penyambutan terhadap mahasiswa baru. Mereka juga memprotes himpunan
karena mengadakan program-program membosankan yang gagal meramaikan
kampus.
Film yang disutradarai dan ditulis oleh Pidi Baiq dan Tubagus Deddy ini
menampilkan pertentangan antara para koboi kampus dan gerakan mahasiswa
arus utama. Para mahasiswa aktivis merasa terganggu dengan kehadiran The
Panasdalam yang emoh turun ke jalan dan ikut aksi. Pertentangan
keduanya dieksekusi dalam bentuk canda, ketika para aktivis tersebut
beberapa kali gagal menemui Pidi dan anggota The Panasdalam lainnya.
Saya melihat Koboy Kampus sebagai ledekan untuk para aktivis mahasiswa
yang duduk di menara gading. Turun ke jalan dengan jaket almamater,
sekaligus menegaskan mereka berbeda dengan banyak elemen yang turun ke
jalan.
Ini cukup berkebalikan dengan situasi di pengujung Orde Baru. Tak banyak
aktivis kampus --terutama yang bergerak di bawah tanah-- yang mau
mengenakan jaket almamater, mengingat jaket peneguh identitas ini
terlalu berbahaya untuk dikenakan. Baru ketika gerakan mahasiswa makin
besar, mereka tak lagi takut mengenakan jaket almamater.
Kelompok The Panasdalam mungkin punya banyak alasan untuk tidak
mengikuti jejak aktivis berjaket almamater ini. Mereka memilih untuk
bersikap politis dengan apolitis. Tapi tentu ada problem dalam pilihan
itu. Bukan pada sikap apolitis yang diambil, tapi pada pemandangan
ketika The Panasdalam memilih kembali menjadi bagian dari Indonesia
ketika Soeharto lengser.
Orang bisa dengan mudah menyematkan label ‘oportunis’ akibat gambaran
ini. Namun pilihan ini sekaligus bisa meneguhkan bahwa The Panasdalam
bukannya anti terhadap Indonesia, melainkan anti pada Soeharto.
Lagi-lagi, mereka menunjukkan cara melawan dengan sikap yang seolah-olah
bercanda.
Baca juga artikel terkait FILM INDONESIA atau tulisan menarik lainnya
Irma Garnesia
(tirto.id - Film)
Penulis: Irma Garnesia
Editor: Nuran Wibisono
Baca selengkapnya di artikel "Koboy Kampus: Ketika Mahasiswa Apolitis Menolak Negara",
https://tirto.id/eftc